Tuesday, May 22, 2012

LUDWIG FEUERBACH DAN AKHIR FILSAFAT KLASIK JERMAN

0 comments
Kata Pengantar
Dalam kata pendahuluan pada Sumbangan kepada Kritik terhadap Ekonomi Politik, yang diterbitkan di Berlin dalam tahun 1859, Karl Marx menceriterakan bagaimana dalam tahun 1845 di Brussels, kami berdua mulai "menyusun bersama pendirian kami" - konsepsi materialis tentang sejarah yang diolah secara mendetail terutama oleh Marx - "yang akan dipertentangkan dengan pendirian ideologi filsafat Jerman, sesungguhnya, untuk mengadakan perhitungan dengan hati nurani filsafat kami yang dahulu. Maksud itu dilakukan lewat bentuk kritik terhadap filsafat sesudah-filsafat-Hegelian. Manuskripnya, dua jilid besar ukuran oktavo, telah lama sampai di tempat penerbitannya di Westfalen ketika kami menerima berita bahwa keadaan yang berubah tidak memungkinkan penerbitannya. Kami dengan lebih rela menyerahkan manuskrip itu kepada kritik tikus, yang memakan manuskrip itu, karena kami telah mencapai tujuan kami yang utama - penjelasan-sendiri."
Sejak itu lebih daripada 40 tahun telah berlalu dan Marx meninggal dunia sebelum salah satu di antara kami mempunyai kesempatan kembali pada persoalan itu. Kami telah menyatakan pendirian kami di berbagai tempat mengenai hubungan kami dengan Hegel, tetapi di tempat manapun tidak pernah dalam penguraian yang lengkap dan bersambung. Kembali ke Feuerbach, yang bagaimanapun dalam banyak hal merupakan mata rantai penghubung antara filsafat Hegel dengan konsepsi kami, kami tidak pernah.
Sementara itu, pandangan dunia Marxis telah mendapatkan wakil-wakilnya jauh di luar perbatasan Jerman dan Eropa serta di dalam semua bahasa literer di dunia ini. Di pihak lain, filsafat klasik Jerman sedang mengalami semacam kelahiran kembali di luar negeri, terutama di Inggris dan Skandinavia, dan di Jerman sendiripun orang mulai merasa bosan dengan makanan eklektisisme yang pantas hanya bagi pengemis, yang dijejalkan di dalam universitas-universitas di negeri itu dengan nama filsafat.
Dalam keadaan yang seperti itu, suatu penguraian singkat, bersambung tentang hubungan kami dengan filsafat Hegel, tentang bagaimana kami bertolak daripadanya serta bagaimana kami berpisah dengannya, bagi saya terlihat semakin diperlukan. Begitu pula, pengakuan sepenuhnya terhadap pengaruh Feuerbach, lebih daripada ahli filsafat lainnya sesudah-filsafat-Hegelian, pada kami selama periode yang penuh dengan badai dan tekanan, bagi saya terlihat sebagai hutang kehormatan yang belum dilunasi. Maka itu, saya dengan senang hati menggunakan kesempatan ketika redaktur Neue Zeit meminta kepada saya suatu tinjauan kritis terhadap buku Starcke tentang Feuerbach. Sumbangan saya itu diterbitkan di dalam nomor 4 dan 5 tahun 1886 majalah itu dan sekarang terbit sebagai penerbitan tersendiri dalam bentuk yang sudah diperbaiki.
Sebelum tulisan ini dikirimkan ke percetakan saya sekali lagi mengadakan penyelidikan yang seksama dan melihat-lihat manuskrip lama tahun 1845-1846. Bagian yang berhubungan dengan Feuerbach belum diselesaikan. Bagian yang sudah selesai mencakup penguraian mengenai konsepsi materialis tentang sejarah yang hanya membuktikan betapa masih tidak lengkapnya pengetahuan kami tentang sejarah ekonomi pada saat itu. Ia tidak mengandung kritik tentang ajaran Feuerbach itu sendiri; maka itu, untuk maksud sekarang ini, ia tidak dapat digunakan. Di pihak lain, di dalam buku catatan lama Marx saya telah menemukan sebelas tesis tentang Feuerbach yang dalam penerbitan ini dimuat sebagai lampiran. Tesis itu adalah catatan-catatan yang secara tergesa-gesa dicoretkan untuk kemudian diolah, dan untuk diterbitkan, tetapi pertama yang di dalamnya terkandung benih-benih yang brilyan dari pandangan dunia baru.


Friedrich Engels
London, 21 Februari 1888.
Ditulis oleh Engels untuk edisi tersendiri bukunya Ludwig Feuerbach dan akhir filsafat klasik Jerman, yang terbit di Stuttgart dalam tahun 1888. Diterbitkan menurut teks buku itu. 

Read more...

Monday, May 14, 2012

Kader Idealis VS kader Prakmatis

0 comments
Kami satu, kami tak rapu. Para Gitte sipaka inga' sipassiri lino akhirat.
" Kebersamaan itu Indah, menyatu dalam kader Idealis,mengutuk kader Prakmatis"
Read more...

Monday, May 7, 2012

Tauhid yang Membebaskan

0 comments

Pandangan Tauhid dalam pemikiran Ali Syari’ati, dia sebut dengan istilah Tauhid Wujud yang ilmiah dan analitis.[1] Ali Syari’ati memandang Tauhid lebih dari sekedar teologi, melainkan memandang Tauhid sebagai pandangan dunia. Ali Syari’ati tidak mendedah konsep Tauhid dengan pendekatan teoogis, mistis, ataupun filosofis, tapi merefleksikan Tauhid dalam kerangka pandangan dunia dan ideologi. Basis ontologis Tauhid Wujud sebagai pandangan dunia adalah memandang semesta sebagai satu kesatuan, tidak terbagi atas dunia kini dan akhirat nanti, atas yang alamiah dan yang supra alamiah, atau jiwa dan raga. Tauhid Wujud memandang seluruh eksistensi sebagai bentuk tunggal, organisme tunggal yang memilliki kesadaran, cipta, rasa, dan karsa.[2]
Untuk menjadikan Islam sebagai ideologi yang mampu dipraksiskan dalam kehidupan dan memberi implikasi yang positif bagi manusia. Syari’ati menyajikan secara detail tahapan-tahapan ideologi. Pada tahap pertema, Syari’ati berangkat dari satu pertanyaan mendasar mengenai kedudukan manusia dalam berhubungan dengan Tuhan dan alam semesta. Untuk menjelaskan hal tersebut, terlebih dahulu Syari’ati meletakkan pandangan dunia Tauhid sebagai pandangan dunia yang mendasar. Bagi Ali Syari’ati, Tauhid tak sekedar pemahaman, lebih dari itu, Tauhid adalah ideologi pembebasan. Basis ideologi Ali Syari’ati adalah Tauhid, sebuah pandangan dunia mistik-filosofis yang memandang jagad raya sebagai sebuah organisme hidup tanpa dikotomisasi. Sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Ali Syari’ati, bahwa Tauhid meninggalkan lingkaran diskusi, penafsiran, dan perdebatan filosofis, teologis, dan ilmiah, Tauhid masuk dalam urusan masyarakat. Di dalam Tauhid tercakup berbagai masalah yang menyangkut hubungan sosial.[3]
Menurut Syari’ati, pandangan dunia Tauhid mengindikasikan secara langsung bahwa kehidupan adalah suatu bentuk yang tunggal.[4] Kehidupan adalah kesatuan dalam trinitas tiga hipotesis, yaitu Tuhan, manusia, dan alam. Tauhid menyatakan bahwa alam adalah sebuah totalitas kreasi harmoni. Hal ini tentu saja berbeda secara fundamental dengan pandangan dunia yang membagi realitas dunia ke dalam dua kategori yang dikotomistik-binerian; materi-non materi, jasmani-ruhani, khalq-makhluk, alam fisik-alam gaib, serta individu-masyarakat. Dalam pandangan Ali Syari’ati, hal tersebut adalah syirik atau lawan dari Tauhid karena menentang pandangan kesatuan antara Tuhan, manusia, dan alam. [5]  Dengan kata lain pandangan dunia Tauhid adalah pandangan dunia yang melihat kenyataan sebagai realitas yang holistik, universal, integral dan monistik.
Semua makhluk dan objek di alam semesta yang merupakan refleksi atas kebesaran Tuhan. Pandangan dunia Tauhid merupakan pandangan dunia yang integral. Pandangan dunia Tauhid memberikan “kelonggaran” bagi manusia untuk mengembangkan kebebasannya, sehiingga manusia bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukannya. Pandangan dunia Tauhid juga memandang bahwa manusia sebagai insan yang memiliki kemerdekaan dan martabat yang sangat tinggi.[6]
Berbeda dengan pandangan kaum eksistensialisme ateistik, seperti Sartre yang menyatakan dengan tegas bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.[7] Sartre, menafikan Tuhan dalam kaitannya dengan kebebasan manusia dalam eksistensinya. Meenurut Sartre, ada tidaknya Tuhan tidak akan mengubah penghayatan manusia tentang dirinya sebagai eksistensi.[8] Penafian Tuhan dalam gerak “mengada” manusia juga dilontarkan oleh filosof materialis Jerman, Ludwig Van Feurbach, yang menyatakan bahwa Tuhan tak lebih hanyalah proyeksi akal pikiran manusia semata. Realitas tuhan yang sejati tak lain hanyalah diri manusia itu sendiri yang dilemparkan oleh manusia menjadi satu sosok di luar dirinya dan berkuasa atas dirinya.[9] Kedua filosof tersebut menganggap manusia benar-benar menjadi sentrum eksistensi dari alam semesta ini. Pendapat kedua tokoh tersebut, termasuk juga para pemikir materialisme ateistik yang lain, dapat digambarkan secara puitis, sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad Zuhri, “Ketahuilah, bahwa bermilyar tahun alam semesta tidak sadar akan dirinya, dan ketika ia sadar akan dirinya, manusialah wujudnya.”[10]
Dalam pandangan dunia Tauhid, Tuhan adalah tujuan yang kepadaNyalah seluruh eksistensi dan makhluk bergerak secara simultan, dan Dia jualah yang menentukan tujuan dari alam semesta ini. Penyembahan terhadap kekuatan Absolut (Allah Yang Esa) yang merupakan seruan terbesar dari ajaran Ibrahim as, terdiri atas seruan kepada semua manusia untuk menyembah Penguasa tunggal di jagad raya ini. Penyembahan tersebut dimaksudkan untuk mengarahkan perhatian manusia kepada satu tujuan penciptaan dan untuk mempercayai satu kekuatan yang paling efektif dari seluruh eksistensi dan sebagai tempat berlindung dan bergantung manusia sepanjang hayat dan sejarah.[11]
Sebagaimana dikatakan oleh seorang sufi besar, Farid al-Din al-Athar, “bila kau ingin sempurna, carilah kesemestaan, pilihlah kesemestaan, dan jadilah kesemestaan.”[12] Dalam pandangan dunia Tauhid, hakekat kesejatian manusia adalah potensi Ruh Allah yang telah ditupkan dalam diri manusia. Ruh Allah tersebut adalah “kesemestaan” sebagaimaana yang dimaksud oleh al-Athar. Ruh Allah adalah realitas paling sublim dan ultim dalam diri manusia yang menjadi modus bagi eksistensi manusia dalam kehidupannya.
Tauhid sebagai modus eksistensi manusia, digambarkan oleh Syari’ati dalam pembahasannya yang sangat romantik, reflektif, dan revolusioner tentang ibadah haji. Beliau mengatakan, ibadah haji menggambarkan “kepulangan” manusia kepada Allah yang Mutlak dan Tidak Terbatas, serta tidak ada yang menyerupaiNya. Perjalanan “pulang” kembali kepada Allah menunjukkan suatu gerakan yang pasti menuju kesempurnaan, kebaikan, kebenaran, keindahan, pengetahuan, kekuatan, nilai-nilai, dan fakta-fakta.[13]
Tauhid sebagai modus eksistensi bermakna, bahwa Allah adalah tempat asal dan tempat kembali manusia. dariNyalah seluruh atribut Ilahiyah yang dimiliki oleh manusia berasal. Berbeda dengan filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre, yang menganggap Tuhan sebagai sosok yang menghalangi kebebasan manusia. Syari’ati memandang, bahwa tuhan adalah sosok pembebas bagi manusia, dengan melakukan upaya pendekatan diri kepadaNya, maka manusia akan terbebas dari nilai-nilai lumpur busuk yang kotor dan melambangkan keadaan manusia yang dehumanis menuju Ruh Allah yang suci sebagai sumber seluruh nilai-nilai humanisme yang universal.
Pandangan dunia Tauhid menuntut manusia hanya takut pada satu kekuatan, yaitu kekuatan Tuhan, selain Dia adalah kekuatan yang tidak mutlak alias palsu. Tauhid menjamin kebebasan manusia dan memuliakan hanya semata kepadaNya. Pandangan ini menggerakkan manusia untuk melawan segala kekuatan dominasi, belenggu, dan kenistaan manusia atas manusia. Tauhid memiliki esensi sebagai gagasan yang bekerja untuk keadilan, solidaritas, dan pembebasan.[14] Implikasi logis dari pandangan dunia Tauhid adalah bahwa menerima kondisi masyarakat yang penuh kontradiksi dan diskriminasi sosial, serta menerima pengkotak-kotakan dalam masyarakat sebagai syirik. Dengan demikian, dalam pandangan Ali Syari’ati, masyarakat tanpa kelas adalah sebuah konsekuensi dari Tauhid.

A.   Falsafah Penciptaan Manusia dan Insan kamil: Dari Teosentris Hingga Teomorphis.
Manusia = Ruh Allah + lempung busuk (Ali Syari’ati)[15]

Ali Syari’ati memulai pembahasannya tentang manusia dimulai dari filsafat penciptaan Adam. Dalam pandangan Syari’ati, Adam adalah simbol representatif dari manusia secara keseluruhan. Dalam menafsirkan penciptaan Adam, Syari’ati membahas kejadian Adam yang diciptakan dari Ruh Allah dan lumpur busuk. Kedua term tersebut dimaknai secara simbolik, Lumpur busuk bermakna kerendahan, stagnasi, dan pasivitas mutlak. Sedangkan Ruh Allah adalah simbol dari gerakan tanpa henti menuju kesempurnaan dan kemuliaan yang tidak terbatas.[16]
Manusia adalah sintesa dari kedua hal tersebut, dan kedua hal tersebut (lumpur busuk dan Ruh Allah)) senantiasa tarik menarik dan akhirnya akan memaksa manusia untuk memilih salah satunya.[17] Pada masa awal penciptaannya manusia berada pada titik netral, dan seiring dengan perjalanan hidupnya manusia melakukan gerak evolusi, baik evolusi progresif menuju Ruh Allah maupun evolusi regresif menuju lumpur busuk. Jika manusia melakukan evolusi progresif maka manusia akan tiba pada kemuliaan dan kesempurnaannya yang hakiki (“bersatu denganNya”). Sedangkan jika yang terjadi adalah evolusi regresif maka manusia jatuh derajatnya dan hanya setara dengan lumpur busuk, yang dalam bahasa Alquran disebut lebih jelek dari binatang ternak.
Setelah Tuhan menciptakan Adam, kemudian Tuhan mengajarkan kepada Adam pengetahuan tentang “nama-nama” segala sesuatu. Jadi dalam penciptaan manusia, Tuhan adalah pencipta sekaligus sebagai guru pertama bagi manusia. Dan selanjutnya, manusia kemudian tampil sebagai pemberi nama bagi dunianya. Karena “perlakuan” Tuhan yang begitu istimewa kepada manusia, malaikat pun protes kepada tuhan, karena Tuhan telah mengistimewakan manusia. Menanggapi protes malaikat tersebut, Tuhan pun kemudian meminta Adam untuk mendemonstrasikan kemampuannya di hadapan para malaikat, lalu Tuhan menyuruh malaikat untuk sujud kepada Adam. Syari’ati menyatakan, sujudnya malaikat kepada Adam adalah perlambang dari humanisme. Derajat manusia diangkat sedemikian rupa setingkat lebih tinggi dari para malaikat suci. Ketinggian derajat manusia atas malaikat bukanlah karena rasialisme, melainkan karena manusia memiliki pengetahuan.[18]
Satu hal yang menarik dalam falsafah penciptaan manusia menurut Syari’ati, yaitu hanya manusia sajalah yang diberikan amanah oleh Tuhan untuk mengemban tugas sebagai khalifahNya. Oleh karena manusia memiliki kemampuan dan keyakinan untuk mengemban tugas berat tersebut. Maka terbuktilah bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan keberanian, keutamaan, kearifan dan kebijakan di alam semesta. Manusia bukan hanya sekedar sebagai khalifahNya, melainkan juga pengemban amanahNya, dan penjaga karuniaNya yang paling berharga. Beliau mengutip pernyataan Jalal al-Din al-Rumi, bahwa amanat dan karunia Tuhan itu adalah kehendak bebas.[19]
Syari’ati membagi manusia ke dalam dua kategori, yaitu insan dan basyar. Basyar adalah keberadaan manusia dalam tahap makhluk yang biasa (being), yang tak memiliki kemampuan berubah sebagaimana makhluk Tuhan yang lain. Basyar dalam istilah Alquran memiliki kesamaan arti dengan istilah l’etre en soi atau being in self  (ada dalam diri) dalam filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre. Bering in self  adalah modus keberadaan manusia yang statis, pasif, netral (tidak afirmatif dan tidak juga negatif), dan tanpa tujuan.[20] L’etre en soi sebagaimana basyar adalah keberadaan manusia sebagai “seonggok” benda yang tak memiliki kesadaran dan kehendak bebas. Sedangkan insan adalah manusia dalam artian “menjadi” (becoming). Atau dengan kata lain insan adalah keberadaan manusia yang telah diberikan daya oleh kekuatan Ruh Ilahi, sehingga mampu bergerak dinamis. Konsep insan dalam pemikiran Syari’ati identik dengan konsep l’etre pour soi atau being for self (ada untuk diri). L’etre pour soi adalah modus keberadaan manusia yang berbeda dengan l’etre en soi. L’etre pour soi adalah modus keberadaan manusia yang memiliki kesadaran akan diri dan realitas disekitarnya dan kehendak bebas dalam menentukan pilihannya, sehingga manusia dapat melakukan gerak aktif dan dinamis sebagai makhluk yang “menjadi”. Pembagian Syari’ati terhadap dua kategori keberadaan manusia ini sangat mungkin diinspirasi oleh pemikiran eksistensialisme Jean paul Sartre. Namun, berbeda dengan Sartre, Ali Syari’ati gerak kemenjadian manusia memiliki tujuan yang jelas yaitu Allah sebagai sentrum dan modus eksistensi. Ali Syari’ati mengkritik Sartre dengan menyatakan moral eksistensialismenya dan konsekuensi-konsekuensinya yang menggelikan.[21]
Menurut Ali Syari’ati, manusia sempurna atau manusia ideal adalah khalifah Tuhan yang menerima amanah Tuhan berupa kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas yang mewujud dalam diri manusia sebagai makhluk dua dimensi. Dengan adanya pertarungan dua unsur dalam diri manusia  (Ruh Allah dan lumpur busuk) memungkinkan manusia untuk berproses menjadi manusia ideal (insan kamil). Karena dengan adanya potensi kesadaran, kehendak bebas, dan kreatifitas yang dimiliki manusia, memungkinkan bagi manusia untuk melakukan pertarungan “di dalam dirinya sendiri”, dan berakhir dengan kemampuan manusia untuk memenangkan dimensi Ruh Allah atas unsur lumpur busuk, dengan berakhlak sebagaimana akhlak Allah.[22]
Manusia ideal adalah manusia theomorphis,[23] yaitu manusia yang dalam pribadinya, ruh Allah telah memenangkan pertarungan atas belahan dirinya yang berkaitan dengan lumpur busuk, sebagai representasi Iblis. Manusia ideal, adalah manusia yang telah terbebas dari kebimbangan dan kontradiksi dari “dua infinita”.[24] Menurut Syari’ati manusia ideal, memiliki tiga ciri utama, yaitu kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Dengan kata lain manusia ideal adalah manusia yang mampu memadukan secara integral pengetahuan, akhlak, dan seni dalam dirinya. Ia adalah khalifah Allah yang komitmen terhadap tiga anugerah Allah kepadanya, yaitu kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas. Manusia ideal adalah khalifah Allah yang telah menempuh jalan penghambaan yang sukar sembari memikul beban amanah, hingga ia sampai ke ujung batas dan menjadi khalifah dan “pemegang amanahNya”.[25] Manusia theomorphis adalah manusia yang berakhlak sebagaimana akhlak Allah.
Manusia menjadi ideal bukan karena menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan seraya mengesampingkan urusan kemanusiaan, dan bukan pula manusia yang menafikan Tuhan dalam gerak kehidupannya. Manusia menjadi sempurna, justru karena terlihat dalam perjuangan kesempurnaan umat manusia secara menyeluruh.[26] Menurut Syari’ati, manusia menjadi ideal adalah dengan menemukan dan memperjuangkan umat manusia, dan dengannya ia akan “menemukan” Tuhan. Dengan kata lain manusia ideal adalah manusia yang tidak meninggalkan alam dan sesama manusia,[27] sembari di saat yang sama ia terus melakukan “hubungan mesra” dengan Tuhan sebagai kekasihnya.
Syari’ati dengan sangat puitis mendeskripsikan mausia ideal tersebut sebagai manusia yang akalnya senantiasa berpikir filosofis, tapi hal ini tidak lantas membuatnya terlena atas nasib umat manusia. Keterlibatan politik tidak membuatnya demagog dan riya. Ilmu tidak membuat keyakinan dan cita-citanya menjadi luntur. Sedangkan keyakinannya tidak menumpulkan akalnya dan menghalangi deduksi logisnya. Kesalehan tidak membuatnya menjadi pertapa yang tak berdaya (asketik). Aktivitas sosial tidak membuat tangannya ternoda oleh immortalitas. Manusia ideal adalah manusia jihad dan ijtihad, manusia syair dan pedang, manusia kesepian dan komitmen. Emosi dan genius, kekuasaan dan cinta kasih, keyakinan dan pengetahuan. Dia adalah manusia yang menyatukan semua dimensi kemanusiaan sejati.[28] Penggambaran Ali Syari’ati tersebut tentang sosok mansuia ideal nyaris mustahil ditemukan dalam realitas kemanusiaan saat ini yang penuh dengan kepalsuan. Tapi, jika kita kembali pada tujuan sejati penciptaan manusia maka kita akan meyakini secara pasti, disetiap masa pasti ada satu manusia yang dengan kesungguhannya berhasil meraih derajat mulia tersebut.

B.   Khatimah
Ali Syari’ati adalah sosok yang berhasil melakukan transformasi Tauhid, hingga Tauhid menjadi pandangan yang dapat benar-benar hidup dan menyentuh realitas.

Ali Syari’ati memahami agama bukan sebagai kumpulan doktrin yang lebih berdimensi ritual saja. Menurutnya, agama adalah sumber lahirnya kesadaran (awareness), landasan etik (morality), tanggungjawab (responsibility) dan kehendak bebas (free will) yang mampu menggerakkan pemeluknya menjadi kekuatan pembebas dari determinasi ideologi-ideologi multitheism yang menindas. Bagi Ali Syari’ati Tauhid tak sekedar teologi yang diperbincangkan pada ranah keilmuan dan filsafat, tapi Tauhid adalah ideologi paripurna tentang integralisme kehidupan dari yang Satu, dalam kesatuan, menuju Yang Satu.
Bagi Syari’ati, Tauhid dimulai dari pemahaman yang ilmiah, filosofis, dan analitis tentang Tuhan menuju pada pembebasan kemanusiaan universal dari berhala diri dan berhala sosial. Tauhid adalah fondasi ideologi pembebasan yang menegasi segala bentuk diskriminasi menuju pada egalitarianisme (persamaan) manusia..Tauhid adalah spirit perlawanan atas kezaliman dan penindasan berdasar pada nilai-nilai keadilan. Dalam pandangan Ali Syari’ati, Tahid adalah pembebasan (liberasi), persamaan (egalitarianisne), dan keadilan (justice) universal.
Dalam pandangan Ali Syari’ati Tauhid adalah ephisentrum kehidupan dan modus eksistensi. Tauhid meniscayakan pandangan dunia yang teosentrik dengan orientasi menuntun manusia dalam gerak evolusi eksistensial menjadi manusia teomorphis, manusia yang mengatribusi sifat-sifat Ketuhanan. Manusia theomorphis, manusia yang kesadarannya menjulang tinggi ke langit, tapi baktinya menoreh aktivisme di bumi. Cita manusia ideal yang tampil sebagai pembebas.

Jadilah manusia agung
Bagai seorang syahid
Seorang imam
Bangkit
Berdiri
Di antara rubah, srigala,
Tikus
Domba
Di antara nol-nol
Bagai Yang Satu

(Ali Syari’ati dalam puisi “Satu yang Diikuti Nol-nol yang Tiada Habis-habisnya”)



[1]Ali Syari’ati, on the Sosicology Islam, Diterjemahkan oleh Saifullah Mahyuddin dengan Judul Paradigma Kaum Tertindas, (Cet, II; Jakarta: al-huda, 2001), h. 76.
[2]Ibid., h. 73.
[3]Eko Supriyadi, op. cit., h. 167.
[4] Muhammad Nafis, “Dari Cengkeraman Penjara Ego Menuju Revolusi: Memahami ‘Kemelut’ Tokoh Pemberontak”, dalam M. Deden Ridwan (ed), op, cit., h. 85.
[5]Lihat Eko Supriyadi, op. cit.., h 163-164
[6] Muhammad Nafis, op. cit., h. 87.
[7] Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, (Cet, I; Jakarta: Pustaka Jaya, 1992), h. 134.
[8] Ibid., h. 138.
[9]Lihat Donny Gahrial Adian, Arus Pemikiran Kontemporer (Cet. I ; Yogyakarta : Jalasutra, 1999), h. 7.
[10]Muhammad Zuhri, Langit-langit Desa : Himpunan Hikmah dari Langit-langit Sekarjalak (Cet. I ; Bandung : Mizan, 1993), h. 34.
[11]Lihat Ali Syari’ati, Religion Versus “Religion”, diterjemahkan oleh Afif Muhammad dan Abdul Syukur dengan Judul Agama Versus “Agama” (Cet. VII ; Jakarta : Pustaka Hidayah, 2000), h. 29.
[12]Eko Prasetyo Darmawan, Agama Bukan Candu (Cet. I ; Yogyakarta : Resist Book, 2005), h. 31.
[13]Ali Syari’ati, Hajj, op. cit.,  h. 21.
[14]Eko Supriyadi, op. cit., h. 166.
[15]Ali Syari’ati, On the Sociology Islam, op. cit., , h. 79.
[16]Ibid.
[17] Ekky Malakky, op, cit., h. 82
[18] Ibid..
[19]Ali Syari’ati, Man and Islam, op. cit., h. 8
[20] Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme, (Cet, I; Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 100.
[21]Ali Syari’ati mengkritik pandangan Jean Paul Sartre tersebut dalam puisinya; “Kau akan berputar dan berputar terus dalam lingkaran/kau akan beku/bagai sebuah laguna, bagai sebuah kolam/kau akan menetap bagai sebuah lingkaran/bagai nol. Lihat Ahmad Nurullah, “Genesis: dari Dentuman Besar ke Revolusi (Tinjauan filosofis tentang Puisi Ali Syari’ati)”, dalam M. Deden Ridwan, op. cit., h. 228.
[22] Ekky Malakky, op, cit., h. 115.
[23]Istilah manusia theomorphis pada dasarnya bukanlah istilah dari Ali Syari’ati sendiri, melainkan istilah ini pertama kali di gunakan oleh pemikir muslim asal anak benua India, yaitu Muhammad Iqbal.
[24] Ali Syari’ati, On the Sociology Islam, op, cit., h. 108.
[25] Ibid., h. 110.
[26] Hal ini senada dengan pernyataan Muhammad Iqbal, bahwa “manusia sempurna bukanlah manusia yang memproyeksi Tuhan sebagaimana yang dikatakan oleh Feurbach, dan bukan pula manusia yang “lenyap” dalam “diri Tuhan” sebagaimana kaum panteis., manusia sempurna adalah manusia yang menyerap sifat-sifat Tuhan dan menjadikannya sebagai elan vital bagi kekuatan yang mengubah dunia. Lihat Donny Gahrial Adian, op, cit., h. 18.
[27] Ekky Malakky, op, cit., h. 116.
[28] Ali Syari’ati, On the Sociology Islam, op, cit., h. 109
Read more...

Sunday, May 6, 2012

Tauhid Prespektif Ali Syariati

0 comments

Tauhid:
Dari Teologi Menjadi Ideologi
Dari Pemahaman Menuju Pembebasan
Dari Teosentris Hingga Teomorphis
(Refleksi Pemikiran Teologi pembebasan Ali Syari’ati)
Oleh: Sabara, M. Fil.I


A.   Mukaddimah:
Bagi Dia, Tauhid berarti Keesaan (Oneless)
Bagi kita, Tauhid adalah kesatuan (unity)
KepadaNya, Tauhid berarti penghambaan
Kepada kita, Tauhid bermakna pembebasan
Untuk Dia, Tauhid adalah pemujaan tanpa syarat
Untuk kita, Tauhid adalah persamaan tanpa kelas.

Banyak di antara kita yang memiliki kesulitan besar dalam memahami bagaimana Tauhid terkait dengan pembebasan. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kita telah dikondisikan untuk memiliki tingkat keimanan yang terbatas hanya pada taqlid dan ritus, Ibadah keagamaan dan dogma teologis. Iman (keyakinan) kita seperti jubah di dalam masjid. Walhasil, Islam dengan Tauhid sebagai fondasi ajaran menjadi tak bertuah bagi kemanusiaan, jangankan menjadi rahmat, justru Islam sering dijadikan dalih (pembenaran) yang melanggengkan kezaliman (hal yang sejatinya paling dilawan oleh Islam).
Secara praksis, menurut Hassan Hanafi, teologi yang diyakini secara dogmatik tak mampu menjadi “pandangan yang benar-benar hidup” yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret manusia. Hal ini dikarenakan penyusunan doktrin teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga muncul keterpecahan (split) antara keimanan teoritis dan keimanan praktis dalam umat Islam, yang pada gilirannya akan menghasilkan sikap-sikap moral ganda atau “sinkretisme kepribadian”. Fenomena sinkretis ini tampak jelas, menurut Hassan Hanafi, dengan adanya paham keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik), Konservatisme dan progresifisme (dalam sosial), serta kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi).[1]
Melihat efek regresif dari teologi dogmatik yang hari ini menjadi mainstreem utama dalam khasanah teologi Islam yang dianut oleh mayoritas umat Islam, meniscayakan perlunya digagas suatu konstruk teologi Islam yang mampu menjawab persoalan-persoalan umat Islam, perlu dikonstruk teologi yang mempu memantik spirit, menjadi inspiring, dan menjadi pandangan dunia yang membebaskan umat Islam dari keterjajahan, keterbelakangan, dan keterbodohan. Rekonstruksi teologi Islam adalah satu hal yang sangat urgen dalam rangka pembenahan kondisi umat Islam menuju keadaan yang lebih baik. Teologi islam yang lebih bercorak liberasi (membebaskan) adalah corak teologi yang sangat dibutuhkan dalam menjawab kondisi kekinian umat Islam yang terpuruk pada keterbelakangan dan ketertinggalan dari umat-umat yang lain. Dalam rangka menyusun format kerangka teologi yang bersifat liberasi sangat dibutuhkan penafsiran baru yang rasional dan ilmiah, serta tetap berdasarkan pada nash suci (Alquran dan hadis) sebagai rujukan doktrinal dalam menyusun kerangka teologi yang konstruktif bagi umat Islam.
Menurut Toshio Kuroda, dalam menyusun konstruk teologi yang memiliki relevansi dalam menjawab persoalan-persoalan yang senantiasa muncul dalam perjalanan manusia sepanjang zaman. Didasarkan pada keyakinan bahwa Islam adalah norma kehidupan yang sempurna dan mampu beradaptasi pada setiap bangsa dan setiap waktu. Firman Allah adalah abadi dan universal yang menyangkut seluruh aktivitas dari seluruh suasana aktivitas kemanusiaan tanpa perbedaan apakah ia aktivitas mental atau aktivitas duniawi.[2]
Berdasarkan pernyataan Toshio Kuroda tersebut, dapat disimpulkan bahwa Islam mencakup bidang-bidang keduniaan, mental, dan sekaligus ketuhanan. Dengan demikian teologi (Tauhid) memiliki fungsi vital dalam pemikiran umat Islam, dalam lembaga-lembaga sosial politik Islam, dan dalam peradaban.[3] Tauhid haruslah bermakna penyatuan atau kesatuan antara dimensi transenden (spiritual) dan imanen (sosial). Antara realitas ilahiyah yang transenden dengan realitas alam dan manusia yang imanen tak memiliki keterpisahan yang kaku sehingga harus diposisikan secara biner. Dalam pandangan Murtadha Muthahhari, konstruksi teologi yang akhirnya menjadi sebuah pandangan dunia (world view) Tauhid yang bersifat unipolar dan uniaxial.[4]
Secara universal, seluruh aspek kehidupan sosial Islam harus diintegrasikan ke dalam “jaringan relasional Islam”. Jaringan ini diderivasikan dari pandangan dunia Tauhid, yang mencakup aspek keagamaan dan keduniawian, spiritual dan material, individual dan sosial. Jaringan relasional Islam ini akhirnya teruji dalam bentuk praksis ibadah ritual[5] yang merupakan kewajiban yang mesti dijalankan oleh umat Islam. Selain itu, perlu digagas relasi Tauhid dan pembebasan, implementasi Tauhid dalam konteks penindasan, dan masyarakat seperti apa yang diinginkan dalam konteks Tauhid.
Ali Syari’ati merupakan salah seorang tokoh intelektual muslim abad modern yang concern pada tema-tema pembebasan dari agama. Berbasis pandangan dunia Tauhid beliau menjadi propagandis yang membakar semangat anak muda Iran di tahun 1970-an untuk bangkit melawan penindasan rezim Pahlevi. Tak bisa dipungkiri, beliau adalah salah seorang tokoh teologi pembebasan Islam, yang bahkan mempersembahkan nyawanya untuk misinya tersebut.
B.   Biografi Singkat Ali Syari’ati

Ali Syari’ati terlahir dengan nama Ali Mazinani, pada tanggal 24 November 1933 di Mazinan, sebuah daerah dekat kota suci Masyhad, sebuah kota yang dianggap suci oleh para penganut Syiah imamiyah Itsna ‘Asyariyah, karena di kota tersebut dimakamkan imam mereka yang kedelapan, yakni imam Ali bin Musa al-Ridha. Ayah beliau adalah Muhammad Taqi Syari’ati dan ibu beliau bernama Zahrah. Nama Syari’ati sendiri yang kemudian dikenal sebagai namanya, beliau gunakan pertama kali pada paspornya untuk mengelabui petugas imigrasi, sewaktu beliau akan meninggalkan Iran menuju Inggris, pada tanggal 16 Mei 1977 (beberapa hari sebelum beliau meninggal).[6]
Orang tua beliau adalah tokoh masyarakat yang cukup disegani ditengah-tengah masyarakatnya sebagai tokoh spiritual. Meskipun demikian, keluarga Syari’ati tetaplah hidup sederhana selayaknya penduduk desa yang lain. Dari keluarganya inilah Ali Syari’ati membentuk kepribadiannya, mentalitas, dan jati dirinya, utamanya melalui sang ayah yang berperan sebagai orang tua, guru, dan pembimbing spiritualnya.[7] Masa muda Syari’ati dihabiskan dengan belajar, membantu orang tuanya mencari nafkah dan ikut aktif dalam perjuangan-perjuangan politik dan melakukan propaganda menentang rezim Syah Pahlevi yang sedang berkuasa di Iran pada saat itu.[8]
Selain terpengaruh oleh ayahnya, pembentukan jiwa Ali Syari’ati juga cukup terpengaruh oleh kakeknya Akhund Ahmad dan paman dari ayahnya Najib Naysapuri. Dari merekalah Ali Syari’ati kecil mempelajari fiqih, sastra, dan filsafat. Ali Syari’ati cukup mewarisi tradisi keilmuan yang diturunkan dari ayahnya, kakeknya, dan paman ayahnya.tersebut.[9] Hal ini tebukti dengan jejak langkah Ali Syari’ati selanjutnya yang memiliki kecendrungan yang cukup tinggi terhadap berbagai jenis keilmuan dan gerakan sosial keagamaan sebagaiamana ayah, kakek, dan paman ayahnya tersebut.
Syari’ati kecil memulai pendidikan formalnya di sebuah sekolah swasta di Masyhad.[10] Pada saat usianya yang menginjak masa remaja, Syari’ati cukup intens melakukan pengkajian terhadap filsafat, mistisisme, sastra, dan masalah-masalah kemanusiaan.[11] Ketika memasuki usia dewasa, Ali Syari’ati telah aktif menyibukkan dirinya dalam kegiatan-kegiatan sosial politik keagamaan. Di usianya yang masih terbilang muda, Syari’ati aktif di “Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan” yang didirikan oleh ayahnya.[12] Pada tahun 1950-1951, ketika usia beliau masih 17 tahun, Ali Syari’ati terlibat dalam gerakan nasionalisme yang dilancarkan oleh Perdana Mentri Iran, Muhammad Mussaddeq untuk menggulingkan rezim Syah Pahlevi. Setelah Mussaddeq gagal dalam melancarkan kudetanya pada tahun 1953, Ali Syari’ati bergabung bersama ayahnya ikut aktif dalam “Gerakan Perlawanan Nasional” cabang Masyhad yang didirikan oleh Mehdi Bazargan. Akibat gerakannya itu, beliau bersama ayahnya dipenjara selama delapan bulan di penjara Teheran.[13] Masih pada tahun 1950-an ini juga, Syari’ati mendirikan Asosiasi Pelajar di Masyhad dan melakukan gerakan untuk menasionalisasi perusahaan industri minyak Iran.[14]
Pada tahun 1959, Ali Syari’ati lulus sebagai sarjana sastra dari Universitas Masyhad. Selanjutnya pada tahun 1960, beliau mendapat bea siswa dari pemerintah untuk melanjutkan study di Universitas Sorbone di Prancis.[15] Di Prancis inilah Syari’ati tinggal selama lima tahun dan banyak menimba beragam ilmu serta terlibat aktif dalam berbagai gerakan pembebasan. Di Prancis, beliau banyak berkenalan dan berguru pada beberapa filosof  dan ilmuwan terkemuka Prancis, seperti Alexist Carrel, Jean Paul Sartre, Henry Bergson, Frans Fanon, Louis Massignon, Albert Camus, dan tokoh-tokoh pemikir Prancis yang lainnya.[16] Diantara tokoh Prancis yang sangat mempengaruhi pemikiran beliau adalah Alexist Carrel, seorang ilmuwan Prancis. Bahkan beliau menerjemahkan dan mengembangkan buku karangan Alexist Carrel yang berjudul de Prayer kedalam bahasa Arab dengan judul al-Du’a. Diantara tokoh pemikir eksistensialisme yang cukup mempengaruhi pemikiran Ali Syari’ati adalah Jean Paul Sartre, Soren Abeye Kierkegard, dan Nikholas Bordayev. Selain itu Syari’ati juga banyak mengkaji pemikiran-pemikiran Marxisme yang sedang booming pada masa itu di dunia.
Selama di Prancis, beliau aktif dalam gerakan politik pembebasan iran bersama Mustafa Chamran dan ibrahim Yazdi. Di saat yang sama, beliau juga aktif dalam gerakan “Front Nasional Kedua”. Selama tinggal di Prancis, Syariati juga ikut aktif dalam gerakan pembebasan Aljazair.[17] Setelah beliau berhasil menyelesaikan program doktoralnya di Prancis, pada bulan September 1964, beliau meninggalkan Prancis dan kembali ke kampung halamannya di Iran.[18]
Sesampainya di Iran, Syari’ati ditangkap dan ditahan selama 1,5 bulan atas tuduhan terlibat aktif dalam gerakan politik melawan pemerintah selama beliau di Prancis.[19] Setelah dibebaskan, beliau kemudian diterima mengajar di Universitas Masyhad. Selain itu, Syari’ati juga mengajar di beberapa sekolah di Masyhad. Karena aktivitas politiknya yang cukup membahayakan, Syari’ati kemudian dikeluarkan dari Universitas Masyhad, dan selanjutnya beliau bersama Murtadha Muthahhari, Husein Behesyti, serta beberapa ulama Syiah yang lain mendirikan lembaga pendidikan Huseiniyah Irsyad, Syari’ati sendiri terlibat sebagai salah satu pengajarnya. Masa antara tahun 1967-1873 adalah masa di mana Syari’ati menyibukkan dirinya untuk mengajar di Huseiniyah Irsyad serta terlibat aktif dalam gerakan-gerakan politik melawan rezim Syah. Selama mengajar di Huseiniyah Irsyad beliau banyak memberikan kuliah yang cukup membakar semangat anak muda Iran untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Akibat kegiatannya ini, akhirnya beliau kembali dipenjarakan selama lima ratus hari oleh pemerintah. Syari’ati baru dibebaskan oleh pemerintah Iran pada bulan Maret 1975, itu pun setelah adanya desakan dari berbagai organisasi internasional serta para tokoh intelektual Prancis dan Aljazair.[20]
Setelah dibebaskan, Syari’ati menyadari bahwa dirinya tidak bebas melakukan aktivitas politik selama tinggal di iran. Akhirnya pada tanggal 16 Mei 1977, beliau meninggalkan Iran menuju ke Eropa. Tujuan pertama beliau adalah singgah di inggris dan selanjutnya hendak ke Amerika Serikat untuk mengunjungi anaknya yang kuliah di sana. Tapi, belum sempat beliau pergi ke Amerika, pada tanggal 19 juni 1977, beliau ditemukan meninggal secara misterius di rumah keluarganya, di Schoumpton, Inggris.[21] Pemerintah Iran(rezim Syah) menyebutkan beliau meninggal akibat serangan jantung, namun dugaan terkuat beliau dibunuh oleh agen SAVAK (agen intelejen Iran).[22]
Karena aktivitas politiknya yang begitu padat dan usia beliau yang cukup singkat, Ali syari’ati hanya sempat menulis dua buku secara khusus, yaitu Hajj (Haji) dan Kavir (Gurun Pasir), selebihnya adalah kumpulan kuliah dan ceramah beliau yang kemudian dibukukan.[23] Selain itu juga sempat menerjemahkan dan menggubah beberapa buku, seperti Abu Dzar, Salman al-Farisi, dan de Prayer karya Alexist Carrel. Telah banyak karya beliau yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pemikiran-pemikiran beliau yang cukup filosofis dan revolusioner telah cukup banyak mempengaruhi pemikiran Islam modern yang berkembang di Indonesia.

C.   Senarai Memahami Pikiran dan Bahasa Ali Syari’ati
Pemikiran Syari’ati bersfat multi dimensi … Syari’ati dapat disebut pemikir politik keagamaan -politico religio thinker- (Azyumardi Azra)[24]

Memahami pemikiran Ali Syariati terkait dengan berbagai macam hal dan diskursus keilmuan, tentu bukan merupakan hal yang mudah, mengingat posisinya yang begitu getol dalam menanggapi segala hal yang dihadapi, bisa dikata bahwa Syariati adalah salah satu tokoh yang melahirkan berbagai macam diskurus kewacanaan terkait dengan kompleksnya kehidupan. Ghulam Abbas Tawassuli, memuji Syari’ati sebagai sosok yang memiliki kesadaran dan intuisi yang tajam, keberanian berpikir, dan ketinggian jiwa, dan hal tersebut adalah sebagian dari karakter manusia terpuji yang dimiliki oleh Ali Syari’ati.[25]
Memahami sosok dan pemikiran Syari’ati adalah memahami sosok seorang perenung yang resah, spiritualis yang humanis, muslim (Syiah) yang taat,  intelektual yang tercerahkan, dan orator yang propagandis dan puitis. Karena itulah, Memahami pikiran seorang Ali Syari’ati tidaklah mudah, melihat kompleksitas diri dan pikirannya. Ali Syari’ati tahu dan sadar betul bahwa ia hidup di tengah-tengah masyarakat muslim (khususnya bangsa Iran) yang sedang berada dalam suasana penindasan, kesaliman, keterbelakangan, kebodohan, apatisme. Di sisi lain, Ali Syari’ati diperhadapkan pada fenomena kaum intelektual dan ulama yang diam, intelektual yang hanya sibuk berasyik-ma’syuk dengan keilmuan tapi tak mampu menjadi intelektual yang membawa pencerahan, atau ulama yang hanya sibuk dengan pengajaran dogama keagamaan dan abai terhadap spirit pemebbasan dari agama (Islam). Bahkan yang lebih miris lagi, sebagain intelektual dan ulama tersebut makin melegitimasi kelanggengan kezaliman dan penindasan. Pada situasi seperti inilah, Ali Syari’ati hidup dan merenungkan kehidupannya.
Di sisi lain Ali Syari’ati adalah seorang spiritualis yang humanis, Seerti yang dituturkan oleh Ali Rahmena, pada tahun 1964, Ali Syari’ati gnostisisme yang telah ia alami sejak masa kanak-kanak akhirnya menjadi “halilintar” yang mentransformasikan kehidupannya dan memikatnya kepada sufisme. Tulisan-tulisan Ali Syari’ati pada masa ini bisa dipandang sebagai bukti pencarian gnostiknya. Dengan menjelaskan proses pencarian jiwa dan pencapaian kebenaran, Ali Syari’ati menggambarkan pencariannya terhadap kesempurnaan tujuan semua sufi.[26]  Sebagai seorang spiritualis, Ali Syari’ati tidak serta-merta larut dalam keasyikan spiritual dan abai terhadap dunianya, Ali Syari’ati benar-benar meyakini bahwa spiritualitas harus berbanding lurus dengan pencerahan dan pembebasan. Spiritualis sejati adalah seperti sosok imam Ali dan Imam Husein yang tampil sebagai agen yang memperjuangkan pembebasan umat. Sosok Ali Syari’ati yang spiritualis-humanis ini tampak pada pemikiran beliau mengenai haji. Dalam pandangan Syari’ati, haji adalah sebuah ritual yang membawa kita pada sebuah refleksi evolusi eksistensial dan setiap ritus haji mengantarkan manusia pada makna pembebasan yang sesungguhnya.[27]
Aspek lain yang tak bisa kita lupakan dalam memahami sosok Ali Syari’ati adalah bahwa beliau sebagai seorang penganut Syiah yang fanatik yang percaya bahwa Syiah adalah ideologi yang revolusioner. Refleksi seorang Ali Syari’ati sebagai sosok muslim Syiah yang taat dan revolusioner dapat kita lihat dalam berbagai tulisan-tulisan beliau yang menjadikan beberapa doktrin khas Syiah seperti imamah, asyura, Mahdiisme, dan lainnya sebagai basis dari pikiran-pikiran revolusioner beliau. Ali Syari’ati adalah orang yang percaya betul terhadap doktrin Syiah, hanya saja refleksi beliau terhadap doktrin-doktrin tersebut menjadikan nuansa yang berbeda dari pemahaman banyak kalangan Syiah lainnya.
Selain sebagai seorang muslim (Syiah) yang taat, sosok Syari’ati juga harus dipahami sebagai seorang intelektual yang tidak eksklusif pada suatu pemikiran tertentu. Pengalaman beliau kuliah di Sorbone University Paris, membuat Ali Syari’ati makin dekat dengan pemikiran-pemikiran Barat, sosok pemikir Barat seperti Franz Fanon, Alexist Carrel, Jean paul Sartre, bahkan Karl Marx, dan lain-lain banyak menginspirasi konstruksi pemikiran Ali Syari’ati. Karena begitu banyak terpengaruh oelh pemikiran Barat, Ali Syari’ati kerap dituduh sebagai agen rahasia Marxisme dan Babisme.[28] Sebagai seorang inteletual yang banyak concern pada tema-tema sosiologi, Ali Syari’ati sangat tertarik pada hubungan dialektis antara teori dan praktek, antara ide dan kekuatan sosial, dan antara kesadaran dan eksistensi kemanusiaan. Ali Syar’ati memiliki komitmen yang tinggi untuk peragian (decay) gerakan-gerakan revolusioner, khususnya agama radikal.[29]
Ali Syari’ati juga mesti dpahami sebagai seorang orator ulung yang tampil sebagai propagandis revolusi Islam Iran. Beliau tampil sebagai orator yang bersemangat, retoris, dan artikulatif dan sangat banyak memikat orang, khususnya kaum muda Iran. Sebagai seorang propagandis, Ali Syari’ati kerap menggunakan jargon-jargon yang mengkritik tajam institusi-institusi yang sudah mapan. Karena sebagai seorang propagandis yang berbahaya inilah, Ali Syari’ati kemudian “dibereskan” oleh agen SAVAK (intelejen Iran di masa Syah Pahlevi) saat beliau berada di London pada tahun 1977. Sebagai seorang orator dan propagandis ulung, Ali Syari’ati kerap menggunakan gaya bahasa yang simbolik dan provokatif yang kerap keseluruhan maksudnya sangat sulit ditangkap, penggunaan bahasa simbolik inilah yang membuat sedikit kesulitan dalam melacak maksud dari pemikiran Ali Syari’ati. Pemilihan bahasa simbolik dilakukan secara sadar oleh Syari’ati. Ia secara sadar memilih bahasa simbolik dibandingkan bahasa expository yang lugas. Menurut Syari’ati bahasa simbolik (dan puitik) yang menyatakan makna lewat simbol-simbol dan imaji adalah bahsa yang paling indah dan halus dibanding bahasa yang pernah dikembangkan oleh manusia. Bahasa simbolik jauh lebih universal, lebih mendalam, dan lebih abadi dibandingkan bahasa eksposisi yang maksud dan kejelasannya terbatas pada waktu dan tempat.[30] Rupanya Ali Syari’ati ingin mengabadikan pesan-pesannya untuk semua waktu dan tempat, meski konsekuensinya menjadi sulit melacak pemikiran Ali Syari’ati. Pemilihan Ali Syari’ati pada bahasa simbolik dalam menyampaikan pesan-pesannya, sangat dipengaruhi pula oleh transformasi spiritual yang ia alami. Menurut Ali Rahmena, Ali Syari’ati menggunakan seni membuka konsep, sebuah bahsa yang memiliki sebuah makna yang kelihatan dan superfisila yang sementara menutupi sejumlah teka-teki.[31]
Sosok Ali Syari’ati yang multi-atribut sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya membuat pemikrian Ali Syari’ati bersifat multi dimensi, dan karenanya multi interpretable. Namun demikian, kita tetap masih bisa melihat konsistensi pandangan dunia dalam tulisan-tulisan beliau. Pandangan-pandangan Ali Syari’ati yang menonjol adalah menyangkut hubungan antara agama dan politik, yang dapat dikatakan menjadi dasar dalam ideologi pergerakannya. Dalam konteks inilah, Azyumardi Azra menyebut Ali Syari’ati sebagai pemikir politik keagamaan (politico religio thinkeri).[32]
Memahami epistemologi atau manhaj pemikiran Ali Syari’ati tak lepas dari memahami sosok Ali Syari’ati secara utuh, sosok Ali Syari’ati yang multi atribut dan multi dimensi. Ali Syari’ati menghadirkan pikirannya melalui dialektika antara idealita konsep dengan kenyataan serta praktek sosial, Ali Syari’ati adalah orang yang gemar melakukan refleksi kritis terhadap doktrin-doktrin (baik teologi maupun ritual) Islam guna menghadirkan muatan ideologi Islam yang revolusioner. Ali Syari’ati adalah pemikir inklusif yang sangat terbuka terhadap pemikrian Barat dan menjadikannya sebagai inspiring dalam memahami ajaran Islam. Dan yang terpenting dari memahami pemikiran Ali Syari’ati adalah beliau menggunakan bahasa simbolik dalam mengemas pikiran-pikiran yang beliau sampaikan kepada publik. Ali Syari’ati lebih tampak sebagai pemikir reflektif dibandingkan pemikir epistemik. Beliau tidak meninggalkan sistematika atau konstruksi epistemologis yang jelas (sebagaimana Murtadha Muthahhari), tapi beliau meninggalkan banyak catatan mengenai refleksi kritis atas doktrin, teori, dan kenyataan sosial. Hal ini jualah yang membuat kita menjadi sulit memahami pemikiran Ali Syari’ati secara sistemik, tapi, seperti apa pun, sosok Ali Syari’ati dan pemikirannya adalah inspring yang tak pernah kering. Karena Ai Syariati, sebagaiaman diungkapkan oleh Sayyid Ali Khamene’i (pemimpin spiritual Iran) adalah pelopor penjelasan masalah-masalah terbaru yang disingkap Islam modern, masalah-masalah yang sulit dijawab dan dipahami generasi masa itu.[33]


D.   Ali Syari’ati tentang Pandangan Dunia dan Ideologi
Ideologilah yang mampu mengubah masyarakat (Ali Syari’ati)[34]

Pada dasarnya dalam menjalani kehidupan, manusia sangat bergantung pada pola atau kerangka pikir yang kemudian disebut sebagai pandangan dunia atau worldview. Secara sederhana pandangan dunia adalah kerangka yang kita buat untuk melihat dunia dan berbagai kejadian yang menyertainya. Berbagai kejadian dan peristiwa kita beri makna dalam kerangka ini.[35] Menurut Murtadha Muthahhari, pandangan dunia inilah yang kemudian menjadi dasar dari ideologi yang dianut oleh setiap individu dan golongan. Perbedaan pada ideologi yang dianut oleh setiap manusia disebabkan perbedaan dalam hal menyusun kerangka pandangan dunia Pandangan dunia, adalah bentuk dari sebuah kesimpulan, penafsiran, dan hasil kajian yang ada pada seseorang berkenaan dengan Tuhan, alam semesta, manusia, dan sejarah.[36]
Gagasan apa pun yang lahir dari seseorang pasti dipengaruhi oleh mazhab pemikiran yang ia anut. Jika seseorang percaya pada mazhab pemikiran tertentu, maka kepercayaan, emosi, jalan hidup, aliran politik, pandangan-pandangan sosial, konsep-konsep intelektual, keagamaan dan etikanya tidaklah terpisah dengan pandangan dunianya, dan karenanya pula maka mazhab pemikiran pada akhirnya dapat menciptakan gerakan, membangun dan melahirkan kekuatan sosial. [37]
Pandangan tentang dunia menurut Ali Syari’ati adalah pemahaman yang dimiliki seseorang tentang wujud atau eksistensi. Misalnya, seseorang yang menyakini bahwa dunia ini mempunyai Pencipta Yang Sadar dan mempunyai kekuatan atau kehendak, dan bahwa dari catatan dan rekaman akurat yang disimpan, ia akan menerima ganjaran atas amal perbuatannya atau dia akan dihukum lantaran amal perbuatannya itu, maka ia adalah orang yang mempunyai pandangan tentang dunia religius. Berdasarkan pandangan tentang dunia inilah seseorang lalu mengatakan: ”Jalan hidupku mesti begini dan begitu dan aku mesti mengerjakan ini dan itu”, inilah makna memiliki ideologi agama. Dengan demikian, idealism Hegel, materialisme dialektik Marx, eksistensialisme Heiddeger, Taoisme Lao Tsu, wihdatul wujud al-Hallaj, semuanya adalah pandangan tentang dunia. Setiap pandangan tentang dunia ataupun mazhab pemikiran pasti akan memperbincangkan konsep manusia sebagai konsep sentral.[38]
Pandangan tentang dunia seseorang dipengaruhi oleh aspek-aspek spiritual dan material yang khas dari masyarakatnya. Menurut Henry Bergson, dunia yang dipandang oleh seorang individu yang hidup dalam suatu masyarakat tertutup merupakan suatu dunia yang terkungkung. Begitu juga sebaliknya, seorang individu yang hidup dalam masyarakat yang terbuka memandang dunia luar sebagai sesuatu yang tidak terbatas, ekspansif dan senantiasa bergerak. Masyarakat dan agama selalu menentukan visi manusia tentang dunia yang kemudian mempengaruhi tindakan-tindakannya. Oleh karena itu, membahas pandangan tentang dunia pada hakikatnya membahas tentang manusia sebagai subjek. Karena pandangan tentang dunia mempengaruhi seseorang dalam mengambil pilihan tindakannya, maka mempelajari pandangan hidup suatu komunitas sosial atau bangsa berarti mempelajari tipe-tipe dari bentuk-bentuk dan pola kebudayaan serta berbagai karakteristik yang dikembangkan oleh komunitas atau bangsa tersebut.[39]
Di tengah dominasi pandangan tentang dunia yang materialistik sekarang ini, Ali Syari’ati menegaskan dirinya pada pilihan pandangan dunia religius. Jenis pandangan dunia ini yakin bahwa jagat raya adalah sesuatu yang datang dari Tuhan, sadar dan responsif terhadap tuntutan-tuntutan spiritual serta aspirasi manusia. Hanya saja, kerangka dasar pandangan dunia yang bersifat religius yang dimaksud adalah cara pandang yang berbasis pada hasil riset ilmiah yang bersifat saintifik bukan bentuk yang ortodoks atau ekstrim. Ali Syari’ati mengambil pilihan pandangan hidup sintetik di antara kutub ekstrim di atas yaitu pandangan hidup religius humanistik yang mensublimasi unsur manusia sebagai makhluk yang progresif, selalu mencari kesempurnaan dan sangat manusiawi.[40]
Ali Syari’ati menawarkan gagasan pandangan tentang dunia religius humanistik untuk memerangi dualisme kelas antara kelas penguasa dan yang dikuasai, antara kelas borjuasi dan proletariat, sehingga manusia akan menemukan keesaan yang orisinil dalam rangka membangun kesadaran manusia pada misinya sebagai wakil atau khalifah Tuhan di muka bumi. Menurutnya, manusia adalah makhluk merdeka dan memiliki potensialitas tanpa batas untuk menentukan nasibnya sendiri dan bukan ditentukan oleh kekuatan eksternal dengan membangun semangat Tauhid.
Pandangan dunia akhirnya bermetamorfosa dan membentuk ideologi sebagai keyakinan dan cita-cita yang dianut oleh kelompok tertentu. Ali Syari’ati melakukan redefenisi tentang pemahaman ideologi. Dimulai dari pendekatan etimologis, Ali Syari’ati menjelaskan bahwa ideologi terdiri atas dua kata, idea dan logi. Idea berati pemikiran, gagasan, keyakinan, cita-cita, dan kata logi yang berarti logika, ilmu, atau pengetahuan, dengan demikian ideologi adalah ilmu tentang cita-cita atau keyakinan. Menurut pengertian ini, seorang ideolog adalah seorang pembela suatu ideologi atau keyakinan tertentu. Dengan demikian, ideologi terdiri dari berbagai keyakinan dan cita-cita yang dianut oleh suatu kelompok tertentu, kelas sosial tertentu, atau suatu bangsa.[41]
Menurut Ali Syari’ati, ideologi  adalah fitrah yang paling penting dan bernilai serta merupakan kesadaran diri yang istimewa dalam diri manusia.[42] Kesadaran ideologis, menurut Ali Syari’ati merupakan kesadaran khusus yang khas bagi manusia tanpa terkecuali.[43] Hal tersebut dikarenakan, ideologi menjadi “kebutuhan” manusia yang paling mendasar untuk memberi arah atau petunjuk dalam mengungkap kebenaran sampai ke tingkat melakukan verifikasi atas tindakan masyarakat serta kondisi-kondisi sosial yang melingkupinya. Secara sederhana, ideologi berperan dalam pemberian cara pandang, membentuk pemahaman, serta mengarahkan prilaku manusia dalam berinteraksi dengan dunianya.
Berkebalikan dengan pandangan Marx dan Weber yang berpandangan ideologi dibentuk oleh struktur masyarakat. Syari’ati justru menyatakan bahwa, dengan kesadaran diri (ideologi) inilah manusia membentuk masyarakat.[44] Ideologi menempati posisi yang begitu kuat dalam pikiran dan keyakinan manusia. Dan ideologi, tetap diperpegangi sebagai penuntun hidup yang paripurna bagi para penganutnya. Bagi Ali Syari’ati hanya ideologilah yang mampu merubah masyarakat, karena sifat dan keharusan ideologi yang meliputi keyakinan, tanggung jawab, dan keterlibatan untuk komitmen.[45] Pandangan Ali Syari’ati ini, senada dengan pandangan Antonio Gramsci, yang menyatakan bahwa ideologi, lebih dari sekedar sistem ide. Ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis (ideologi memberikan spirit perjuangan). Selain itu, ideologi mengatur dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak dan, mendapatkan kesadaran mengenai posisi mereka maupun perjuangan mereka dalam kehidupannya.[46]



[1]Lihat Hassan Hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tsawrah, Diterjemahkan oleh Asep Usman Ismail, Suadi Putro, dan Abdul Rauf dengan Judul Dari Akidah ke Revolusi (Cet, I; Jakarta: Paramadina, 2003),  h. 45.
[2]Kazuo Shimogaki, Between Modernity and Postmodernity the Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought: a Critical Reading, diterjemahkan oleh M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula dengan Judul Islam Kiri: Antara Modernisme dan Postmodernisme Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi (Cet. VII; Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 16.
[3] Ibid.
[4]Lihat Murtadha Muthahhari, Syesyi Makoleh, diterjemahkan oleh Muhammad Ilyas Hasan dengan Judul Kumpulan Artikel Pilihan (Cet, I; Jakarta: Lentera Basritama, 2002), h, 221.
[5]Kazuo Shumogaki, op, cit., h. 17.
[6] Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru Islam (Cet. I; Bandung: Mizan, 1995), h. 239.
[7]Eko Supriyadi, Sosialisme Islam: Pemikiran Ali Syari’ati (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 27-28.
[8]Ali Syari’ati, Abu Dzar, Diterjemahkan oleh Tim Muthahhari Paperbacks dengan Judul Abu Dzar: Suara Parau Menentang Penindasan (Cet.. 1; Bandung: Muthahhari Paperbacks, 2001), h. vii.
[9] Eko Supriyadi, op, cit., h. 30-31.
[10]Ali Rahmena, op, cit., h. 205.
[11] Eko Supriyadi, op, cit., h. 31
[12] Ibid., h. 32.
[13]Ekky Malakky, Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern (Cet. I; Bandung: Teraju, 2003), h. 14-15.
[14]Ali Syari’ati, A Glance at Tomorrow History, diterjemahkan oleh Satria Panindito dengan Judul Islam Agama Protes (Cet. I; Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), h. 7.
[15]Ekky Malakky, op, cit., h. 15.
[16] Eko Supriyadi, op, cit., h. 34.
[17] Ibid., h. 35-36.
[18] Ibid., h. 38.
[19] Ekky Malakky, op, cit., h. 20
[20]Eko Supriyadi, op, cit., h. 40.
[21]Ali Rahmena, op, cit., h. 240.
[22]Ekky Malakky, op, cit., h. 25.
[23] Ibid., h. 27.
[24]Azyumardi Azra, “Akar-akar Ideologi Revolusi Iran: Filsafat Pergerakan Ali Syari’ati” dalam M. Deden Ridwan (ed), Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, (Cet, I; Jakarta: Lentera, 1999), h. 51.
[25]Ghulam Abbas Tawassuli, “Sepintas tentang Ali Syari’ati” dalam Kata Pengantar dalam Buku Ali Syari’ati, al-Islam, al-Insan, wa Madaris al-Gharb, Diterjemahkan oleh Afif Muhamamd dengan Judul Humanisme antara Islam dan Mazhab Barat, (Cet, II; Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h. 7.
[26]Ali Rahmena, an Islamic Utopian: a Political Biography of Ali Syari’ati, Diterjemahkan oleh Dien Wahid, dkk dengan Judul Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, (Cet, I; Jakarta: Erlangga, 2002), h. 219.
[27]Lihat Ali Syari’ati, Hajj, diterjemahkan oleh Burhan Wirasubrata dengan Judul Makna Haji (Cet. II ; Jakarta : al-Huda, 2002),
[28]Azyumardi Azra, op. cit., h. 58.
[29]Ibid., h. 49.
[30]Lihat Ali Syari’ati, Man and Islam, Diterjemahkan oleh M. Amien Rais dengan Judul Tugas Cendekiawan Muslim, (Cet, II; Jakarta: Srigunting Press, 2001), h. 2.
[31]Ali Rahmena, an Islamic… loc. cit.
[32]Lihat Azyumardi Azra, op. cit., h. 51.
[33]“Syari’ati bukan Orang yang Anti Agamawan: Wawancara dengan Rahbar tentang Ali Syari’ati dalam www.irib.com. Diakses pada tanggal 3 Mei 2012.
[34]Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, Diterjemahkan oleh Haidar Bagir (Cet, II; Bandung: Mizan, 1989), h. 81.
[35]Musa Kazhim, Belajar Menjadi Sufi, (Cet,, I; Jakarta: Lentera Basritama, 2002), h. 25.
[36]Murtadha Muthahhari, ­Ma­s’ala-ye Syenokh, Diterjemahkan oleh Muhammad Jawad Bafaqih, dengan Judul Mengenal Epistemologi, (Cet, I; Jakarta: Lentera, 2001), h. 17-18.
[37]Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, Diterjemahkan oleh MS. Nasrulloh dan Afif Muhammad, (Cet, I; Bandung: Mizan, 1992), h. 20
[38]Lihat ibid., h. 24-25
[39]Ali Syari’ati Man and Islam, op. cit., h. 22-24
[40]Ibid., h. 35.
[41]Ibid., h. 156-157.
[42]Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual, op. cit., h. 54
                [43]Ibid., h. 114.
[44]Ibid., h. 57.
[45]Ibid., h. 81.
                [46]Roger Simon, Pemikiran Politik Gramsci (Cet, I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h.83. 
Read more...