Wednesday, July 11, 2012

DARI NARASI CINTA DAN KEMANUSIAAN MENUJU JEJAK DUNIA YANG RETAK

0 comments
Oleh Sulhan Yusuf
Baru-baru ini, tepatnya di pekan pertama bulan juli 2012 ini, saya terlanda kebahagiaan yang amat mendalam. Setidaknya, ada dua momentum strategis dari gerakan literasi sementara mengedar. Pertama, terbitnya buku Narasi Cinta dan Kemanusiaan, yang ditulis oleh Dion Anak Zaman dan diterbitkan oleh Boetta Ilmoe. Lounchingnya telah dilaksanakan tanggal 7 juli 2012, bertempat di gedung Pertiwi, pukul 20.00-23.00 waktu setempat, Butta Toa-Bantaeng.

Terus terang, saya sendiri tidak menyangka akan begitu banyaknya apresiasi dari kehadiran buku itu. Mulai dari begitu banyaknya komentar yang ditujukan kepada buku tersebut, dukungan spiritual dan material saat dilounching yang begitu dahsyat dan banyak, jumlah undangan yang hadir memenuhi gedung, hingga kehadiran Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng, yang juga kami tidak duga sebelumnya.

Banyaknya apresiasi dan tingginya rasa antusias, serta sambutan yang meriah atas buku itu, saya menduga karena, pertama, temanya buku itu yang bertutur tentang cinta dan kemanusiaan, sebuah tema yang abadi dalam dimensi kemanusiaan kita. Kedua, karena faktor penulisnya, yang memang selama ini telah mengedar, malang melintang dalam aktivitas berkesenian dan pemberdayaan masyarakat. Ketiga, sebab digarap tidak dengan motif-motif dan kerja-kerja material, tetapi dengan semangat yang amat spiritual. Keempat, jalur penerbitan yang dipilih secara indie, yang menyebabkan semua yang terlibat dalam proses penerbitannya dapat memaksimalkan kemerdekaannya dalam berkontribusi. Kelima, situasi kelompok-kelompok sosial dan komunitas-komunitas sosial di Butta Toa-Bantaeng, sudah mulai merasakan getaran-getaran dari gerakan literasi.

Kedua, terbitnya buku Jejak Dunia Yang Retak, yang baru-baru ini, dihadiahkan kepada saya oleh para penulisnya. Buku ini adalah kumpulan tulisan dari lima orang anak muda, yang selama ini cukup intens beredar dipusaran komunitas literasi: Paradigma Insitut, Papirus Community, dan Boetta Ilmoe. Kelima penulis itu adalah: Muchniar Az (Niart), Syamsu Alam (Alamyin), Takim Mustakim, Bahrul Amsal dan Asran Lallang Salam. Tiga orang dari penulis tersebut, Muchniar, Alam dan Asran , malah terlibat langsung dalam penggarapan buku Narasi Cinta Dan Kemanusiaan. Muchniar selaku pemberi prolog, Alam selaku desainer sampul dan layout, sedangkan Asran salah seorang editornya.

Penulis-penulis muda tersebut, kalau boleh saya katakan mereka adalah kaum muda potensial dalam kepenulisan, yang selama ini bahu membahu untuk mendorong gerakan literasi di tiga komunitas tersebut. Jujur saya katakan, ada kebahagiaan yang tak terkira dengan kehadiran buku Jejak Dunia Yang Retak ini. Apalagi mereka menyebut saya sebagai salah seorang mentornya, di pengantar buku itu.

Meski buku itu tidak diterbitkan oleh Paradigma, Papirus atau Boetta Ilmoe – karena memang ketiga komunitas ini telah beberapa kali menerbitkan buku secara indie – tetapi spirit dari ketiga komunitas ini cukup memengaruhi. Sehingga, bolehlah saya katakan spiritnya adalah spirit indie, tetapi diterbitkan secara non-indie, digarap secara profesional oleh penerbit Carabaca Yogyakarta.

Saya sendiri termasuk yang mendorong agar diterbitkan mengikuti mainstrem dunia penerbitan, karena memang targetnya dari penerbitan buku itu, sebagai pembuktian bahwa menerbitkan buku banyak jalan yang bisa digunakan. Sehingga, bagi kami yang bergerak dalam dunia gerakan literasi makin kaya akan perspektif dalam mendorong gerakan ini.

Buku Jejak Dunia Yang Retak ini, diberi prolog oleh Eko Prasetyo, seorang penulis buku produktif dari Resist-Yogyakarta, dan dieditori oleh Sabbara, seorang penulis dan peneliti di Litbang Kementrian Agama, yang juga banyak menghiasi pergulatan pemikiran baik di Paradigma, Papirus maupun Boetta Ilmoe. Dan ini yang agak khas, karena diberi epilog oleh Dul Abdul Rahman, seorang penulis, novelis, cerpenis, yang juga memberikan epilog pada buku Narasi Cinta Dan Kemanusiaan.

Bolehlah saya nyatakan bahwa, hadirnya kedua buku tersebut, dalam rentang waktu yang nyaris bersamaan, semakin meyakinkan saya akan getaran literasi yang akan membuahkan gempa literasi. Perspektif kami makin luas, akan strategi gerakan literasi, karena sudah ada bentuk-bentuknya yang terakumulasi dalam model-model gerakan. Yang diperlukan adalah tetap menjaga api literasi tetap membara dan menyala pada setiap pegiat literasi, khususnya yang telah mengedar di tiga komunitas tersebut: Paradigma, Papirus dan Boetta Ilmoe.

Rasanya ingin segera memberi ucapan selamat kepada diri sendiri, atas kebahagiaan yang begitu melimpah ini, karena memang telah terasa getarannya. Tetapi sebelumnya, terlebih dahulu kuucapkan selamat kepada kalian berlima, para penulis muda, buah cerahan pikiranmu dan benih keruhanian hatimu, senantiasa kami tunggu pada barisan para pegiat literasi, di bawah naungan spirit alturuisme, seperti yang telah didedahkan oleh para altruist sebelum kita. Wallahu ‘alam bissawab.
Read more...

Friday, July 6, 2012

REVOLUSI INTELEKTUAL

1 comments

Halik Abidin

Tak ada yang dapat aku lakukan untuk kebaikan
Selain menghembuskan kebaikan itu sendiri
Maka biarlah aku menjadi angin
Agar baramu tak memadam
(Halik Abidin....)
Generasi ibarat bara api, ketika bara itu didiamkan pada kondisi dimana bara itu sendiri, maka perlahan-lahan dia akan mulai meredup lalu mati dan pada akhirnya menjadi arang dan abu. Oleh karena itu harus senantiasa dihembuskan angin kepadanya agar bara itu senantiasa membara bahkan menyalah membakar semangat hidup untuk melakukan perubahan sebagai manifestasi dalam eksistensinya sebagai agen of change, moral of force dan reformer agen demi mewujudkan cita-cita Ali Syariati “Rausyan Fikr” ditengah persimpangan senja kala Good Governance dan Good Soceity.
                Maka dari itu generasi dipandang perlu melakukan refleksi kritis pada diri sendiri yaitu dengan melakukan satu gerakan revolusi intelektual, sebagaimana semboyang pergerakan aktifis “bangkit melawan atau tertindas”. Maka sesungguhnya penindasan yang paling pertama yang harus dilawan adalah penindasan terhadap diri sendiri. Disadari atau tidak dalam kehidupan sehari-hari banyak diantara kita yang senantiasa melakukan penindasan terhadap diri sendiri baik yang disenggaja maupun yang tidak disenggaja, sebagai contoh paling sederhana seorang Mahasiswa tidak memberikan hak-hak subtantif pada dirinya sebagai Mahasiswa seperti hak akan buku, membaca maupun menulis.
                Revolusi sebagai bentuk perubahan cepat dalam sendi kehidupan tentu membutuhkan banyak pengorbanan baik pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, materi bahkan ketika dibutuhkan jiwa dan ragapun akan menjadi taruhannya. Mari kita melihat revolusi yang terjadi di Negara Timur Tengah betapa banyak masyarakat disana yang dengan relah hati mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, materi bahkan jiwa raganya di setapak jalan-jalan revolusi demi satu perbaikan tatanan kehidupan dan akhirnya berhasil menumbangkan rezim Pemimpin yang sebelumnya dicintai antara lain Husni Mubarak dan Muammar Qadafi.
                Begitupula semestinya dengan revolusi intelektual pengorbanan adalah sebuah keniscayaan didalamnya, berkorban diwaktu senggang untuk membaca, berkorban dikala lelahnya tenaga untuk membaca, berkorban ditengah suntuknya pikiran untuk menuangkan inspirasi melalui tulisan, berkorban disaat paceklitnya keuangan untuk membeli buku dan pada akhirnya mengorbankan kesehatan raga untuk keseluruhan rekayasa intelektual tersebut. Itulah Mahasiswa yang gila karena disaat manusia terlelap tidurnya dia mala terjaga dari mimpinya dan mimpinyapun adalah mimpi membaca dan menulis.   
                Eropa menjadi benua terbesar dengan negara-negara yang sangat maju bukanlah hasil dari suatu rekonstruksi struktural secara besar-besaran melainkan gerakan kultural lewat sejarah renaisans Eropa yang dipelopori oleh Petrarch (1304-74) sebagai fajar periode baru pada abad keempat belas saat manusia menerobos kegelapan menuju gerak kembali kepada cahaya murni dan asli. Petrarch melukiskan cintanya terhadap buku sebagai nafsu yang tidak dapat dikendalikan meskipun dapat dikendalikan Dia tidak akan pernah melakukan katanya. Bahasa ini memberikan kita petunjuk akan pentingnya membangkitkan hasrat dan perasaan gelisah dalam diri, hasrat dalam hal ini dimaksudkan pada keinginan yang tidak terpuaskan untuk memiliki buku-buku yang bermanfaat dalam pengembangan kapasitas intelektual sedangkan gelisah lebih dimaksudkan pada ketidak tenangan ketika dalam keseharian tidak meluangkan waktu untuk membaca buku.
                Jauh berbeda dengan realitas kekinian yang melanda generasi di tanah air Indonesia karena para insan akademik tidaklah dilanda akan kelaparan dan dahaga yang sangat terhadap buku-buku, hal ini didasarkan atas penelitian terhadap sejumlah Mahasiswa di Makassar (Multi Kampus) sementara ide dibalik buku adalah sumber inspirasi bagi ide selanjutnya namun bukanlah berarti ketergantungan ide atas realitas. Bahkan ketika ditelusuri mereka lebih senang memperbanyak  pakaian, make up, beli pulsa dan hal lain yang lebih bersifat cerimonial ketimbang hal yang bersifat subtantif. Pertanyaan kemudian yang harus dijawab bagaimana cara melakukan perubahan sosial sebagaimana yang selalu diteriakkan oleh Mahasiswa ketika tidak ada gerakan intelektual didalamnya dan bagaimana cara mendorong gerakan intelektual itu ketika tidak ada tradisi intelektual didalamnya bukankah perubahan sosial hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang tercerahkan dan bukankah orang yang tercerahkan adalah meraka yang memiliki tradisi intelektual.
                Harus diakui, generasi Indonesia adalah generasi yang sangat kritis namun hal tersebut belum mampu dipersentuhkan dengan eksistensinya oleh karena adanya kecenderungan untuk mempolarisasi diri kedalam lingkungan sosial yang sarat dengan bauh haedonisme, suatu bentuk pergaulan yang lebih mengutamakan dan mengedepankan kesenangan sebagai buah pergaulan yang hura-hura. Antonio Gramsci membagi tipe intelektual kedalam 4 tipelogi :
1.            Intelektual Tradisional yaitu kelompok intelektual yang menyebarkan ide dan berfungsi sebagai mediator antara rakyat dengan kelas diatasnya.
2.            Intelektual organik yaitu kelompok intelektual dengan badan penelitian dan studinya yang berusaha memberi refleksi atas keadaan namun terbatas untuk kepentingan kelompok sendiri.
3.            Intelektual kritis yaitu intelektual yang mampu melepaskan diri dari hegemoni penguasa elit kuasa yang sedang memerintah dan mampu memberikan pendidikan alternatif untuk proses pemerdekaan.
4.            Intelektual universal yaitu intelektual yang berusaha memperjuangkan proses peradaban dan struktur budaya manusia.               
                Andir Hakim dalam bukunya Dasyatnya Alam Bawah Sadar mengatakan “ketika engkau dapat menata pikiranmu, maka pikiran itu yang akan menjadi kata-katamu dan jika engkau dapat menjaga kata-katamu maka kata-kata itu yang akan menjadi tindakanmu dan jika engkau mampu memelihara tindakanmu maka tindakanmu itu akan menjadi kebiasaanmu dan alangkah luar biasanya karena kebiasaan itulah yang akan merubah hidupmu. sebagaimana Descartes mengatakan “Aku ada karena aku berpikir” (Cogito ergo sum) dengan “cogito” manusia akan mampu menyadari kesadaran diluar dirinya dan dengan kesadarannya dia akan mampu memahami kenyataan diluar dirinya sehingga dia tidak akan pernah tertipu dengan siapapun juga meskipun harus ditipu oleh Tuhan andaikan Tuhan itu penipuRealitas dalam pandangan Pip Jones tidaklah bersifat faktual, objektif dan tegas, realitas hanya akan menunjukkan dirinya ketika dipikirkan melalui interaksi sosial, apa yang dipikir oleh meraka yang terlibat dalam interaksi sosial itu pula yang menentukan langkah dan tindakan yang akan diambil. Gerakan kolektifitas melalui beli buku kolektif, baca buku kolektif dan menulis kolektif adalah tradisi Revolusi Intelektual yang harus senantiasa dibudayakan dalam jiwa dan benak insan akademisi.
                Perubahan harus bergerak secara horizontal-vertikal dari dalam keluar dan dari yang kecil ke yang besar dan tentu melalui gerakan Revolusi Intelektual  cita-cita masyarakat Literasi akan membumi khususnya di tanah KOSKAR PPB. Knowledge is power, pengetahuan adalah kekuatan, kekuatan untuk menundukkan alam semesta, pengetahuan adalah kekuasaan.
Read more...