Tauhid:
Dari
Teologi Menjadi Ideologi
Dari
Pemahaman Menuju Pembebasan
Dari
Teosentris Hingga Teomorphis
(Refleksi
Pemikiran Teologi pembebasan Ali Syari’ati)
Oleh:
Sabara, M. Fil.I
A.
Mukaddimah:
Bagi Dia, Tauhid berarti Keesaan (Oneless)
Bagi kita, Tauhid adalah kesatuan (unity)
KepadaNya, Tauhid berarti penghambaan
Kepada kita, Tauhid bermakna pembebasan
Untuk Dia, Tauhid adalah pemujaan tanpa
syarat
Untuk kita, Tauhid adalah persamaan tanpa
kelas.
Banyak di antara kita
yang memiliki kesulitan besar dalam memahami bagaimana Tauhid terkait dengan
pembebasan. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kita telah dikondisikan
untuk memiliki tingkat keimanan yang terbatas hanya pada taqlid dan
ritus, Ibadah keagamaan dan dogma teologis. Iman (keyakinan) kita seperti jubah
di dalam masjid. Walhasil, Islam dengan Tauhid sebagai fondasi ajaran menjadi
tak bertuah bagi kemanusiaan, jangankan menjadi rahmat, justru Islam sering
dijadikan dalih (pembenaran) yang melanggengkan kezaliman (hal yang sejatinya
paling dilawan oleh Islam).
Secara praksis, menurut Hassan Hanafi, teologi yang diyakini secara dogmatik tak mampu menjadi
“pandangan yang benar-benar hidup” yang memberi motivasi tindakan dalam
kehidupan kongkret manusia. Hal ini dikarenakan penyusunan doktrin teologi
tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia.
Sehingga muncul keterpecahan (split)
antara keimanan teoritis dan keimanan praktis dalam umat Islam, yang pada
gilirannya akan menghasilkan sikap-sikap moral ganda atau “sinkretisme
kepribadian”. Fenomena sinkretis ini tampak jelas, menurut Hassan Hanafi,
dengan adanya paham keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional
dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat
(dalam politik), Konservatisme
dan progresifisme (dalam sosial), serta kapitalisme dan sosialisme (dalam
ekonomi).
Melihat efek regresif dari teologi dogmatik yang
hari ini menjadi mainstreem utama
dalam khasanah teologi Islam yang dianut oleh mayoritas umat Islam,
meniscayakan perlunya digagas suatu konstruk teologi Islam yang mampu menjawab
persoalan-persoalan umat Islam, perlu dikonstruk
teologi yang mempu memantik spirit, menjadi inspiring, dan menjadi
pandangan dunia yang membebaskan umat Islam dari keterjajahan, keterbelakangan,
dan keterbodohan.
Rekonstruksi teologi Islam adalah satu hal yang sangat urgen dalam rangka
pembenahan kondisi umat Islam menuju keadaan yang lebih baik. Teologi islam
yang lebih bercorak liberasi (membebaskan) adalah corak
teologi yang sangat dibutuhkan dalam menjawab kondisi kekinian umat Islam yang
terpuruk pada keterbelakangan dan ketertinggalan dari umat-umat yang lain.
Dalam rangka menyusun format kerangka teologi yang bersifat liberasi sangat dibutuhkan penafsiran baru yang rasional dan ilmiah, serta
tetap berdasarkan pada nash suci
(Alquran dan hadis) sebagai rujukan doktrinal dalam menyusun kerangka teologi
yang konstruktif bagi umat Islam.
Menurut Toshio Kuroda, dalam menyusun konstruk teologi yang
memiliki relevansi dalam menjawab persoalan-persoalan yang senantiasa muncul
dalam perjalanan manusia sepanjang zaman. Didasarkan pada keyakinan bahwa Islam
adalah norma kehidupan yang sempurna dan mampu beradaptasi pada setiap bangsa
dan setiap waktu. Firman Allah adalah abadi dan universal yang menyangkut
seluruh aktivitas dari seluruh suasana aktivitas kemanusiaan tanpa perbedaan
apakah ia aktivitas mental atau aktivitas duniawi.
Berdasarkan pernyataan Toshio Kuroda tersebut, dapat disimpulkan
bahwa Islam mencakup bidang-bidang keduniaan, mental, dan sekaligus ketuhanan.
Dengan demikian teologi (Tauhid) memiliki fungsi vital dalam pemikiran umat
Islam, dalam lembaga-lembaga sosial politik Islam, dan dalam peradaban.
Tauhid haruslah bermakna penyatuan atau kesatuan antara dimensi transenden
(spiritual) dan imanen (sosial). Antara realitas ilahiyah yang transenden
dengan realitas alam dan manusia yang imanen tak memiliki keterpisahan yang
kaku sehingga harus diposisikan secara biner. Dalam pandangan Murtadha
Muthahhari, konstruksi teologi yang akhirnya menjadi sebuah pandangan dunia (world view) Tauhid yang bersifat unipolar dan uniaxial.
Secara universal, seluruh aspek kehidupan sosial Islam harus
diintegrasikan ke dalam “jaringan relasional Islam”. Jaringan ini diderivasikan
dari pandangan dunia Tauhid, yang mencakup aspek keagamaan dan keduniawian,
spiritual dan material, individual dan sosial. Jaringan relasional Islam ini
akhirnya teruji dalam bentuk praksis ibadah ritual
yang merupakan kewajiban yang mesti dijalankan oleh umat Islam. Selain itu, perlu digagas relasi Tauhid dan
pembebasan, implementasi Tauhid dalam konteks penindasan, dan masyarakat
seperti apa yang diinginkan dalam konteks Tauhid.
Ali Syari’ati merupakan
salah seorang tokoh intelektual muslim abad modern yang concern pada
tema-tema pembebasan dari agama. Berbasis pandangan dunia Tauhid beliau
menjadi propagandis yang membakar semangat anak muda Iran di tahun 1970-an
untuk bangkit melawan penindasan rezim Pahlevi. Tak bisa dipungkiri, beliau
adalah salah seorang tokoh teologi pembebasan Islam, yang bahkan
mempersembahkan nyawanya untuk misinya tersebut.
B.
Biografi Singkat Ali
Syari’ati
Ali
Syari’ati terlahir dengan nama Ali Mazinani, pada tanggal 24 November 1933 di
Mazinan, sebuah daerah dekat kota suci Masyhad, sebuah kota yang dianggap suci
oleh para penganut Syiah imamiyah Itsna ‘Asyariyah, karena di kota tersebut
dimakamkan imam mereka yang kedelapan, yakni imam Ali bin Musa al-Ridha. Ayah
beliau adalah Muhammad Taqi Syari’ati dan ibu beliau bernama Zahrah. Nama
Syari’ati sendiri yang kemudian dikenal sebagai namanya, beliau gunakan pertama
kali pada paspornya untuk mengelabui petugas imigrasi, sewaktu beliau akan
meninggalkan Iran menuju Inggris, pada tanggal 16 Mei 1977 (beberapa hari
sebelum beliau meninggal).
Orang tua
beliau adalah tokoh masyarakat yang cukup disegani ditengah-tengah
masyarakatnya sebagai tokoh spiritual. Meskipun demikian, keluarga Syari’ati
tetaplah hidup sederhana selayaknya penduduk desa yang lain. Dari keluarganya
inilah Ali Syari’ati membentuk kepribadiannya, mentalitas, dan jati dirinya,
utamanya melalui sang ayah yang berperan sebagai orang tua, guru, dan
pembimbing spiritualnya. Masa
muda Syari’ati dihabiskan dengan belajar, membantu orang tuanya mencari nafkah
dan ikut aktif dalam perjuangan-perjuangan politik dan melakukan propaganda
menentang rezim Syah Pahlevi yang sedang berkuasa di Iran pada saat itu.
Selain
terpengaruh oleh ayahnya, pembentukan jiwa Ali Syari’ati juga cukup terpengaruh
oleh kakeknya Akhund Ahmad dan paman
dari ayahnya Najib Naysapuri. Dari merekalah Ali Syari’ati kecil mempelajari
fiqih, sastra, dan filsafat. Ali Syari’ati cukup mewarisi tradisi keilmuan yang
diturunkan dari ayahnya, kakeknya, dan paman ayahnya.tersebut. Hal ini
tebukti dengan jejak langkah Ali Syari’ati selanjutnya yang memiliki
kecendrungan yang cukup tinggi terhadap berbagai jenis keilmuan dan gerakan
sosial keagamaan sebagaiamana ayah, kakek, dan paman ayahnya tersebut.
Syari’ati
kecil memulai pendidikan formalnya di sebuah sekolah swasta di Masyhad. Pada
saat usianya yang menginjak masa remaja, Syari’ati cukup intens melakukan
pengkajian terhadap filsafat, mistisisme, sastra, dan masalah-masalah
kemanusiaan.
Ketika memasuki usia dewasa, Ali Syari’ati telah aktif menyibukkan dirinya
dalam kegiatan-kegiatan sosial politik keagamaan. Di usianya yang masih
terbilang muda, Syari’ati aktif di “Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan” yang
didirikan oleh ayahnya. Pada
tahun 1950-1951, ketika usia beliau masih 17 tahun, Ali Syari’ati terlibat
dalam gerakan nasionalisme yang dilancarkan oleh Perdana Mentri Iran, Muhammad
Mussaddeq untuk menggulingkan rezim Syah Pahlevi. Setelah Mussaddeq gagal dalam
melancarkan kudetanya pada tahun 1953, Ali Syari’ati bergabung bersama ayahnya
ikut aktif dalam “Gerakan Perlawanan Nasional” cabang Masyhad yang didirikan
oleh Mehdi Bazargan. Akibat gerakannya itu, beliau bersama ayahnya dipenjara
selama delapan bulan di penjara Teheran. Masih
pada tahun 1950-an ini juga, Syari’ati mendirikan Asosiasi Pelajar di Masyhad
dan melakukan gerakan untuk menasionalisasi perusahaan industri minyak Iran.
Pada
tahun 1959, Ali Syari’ati lulus sebagai sarjana sastra dari Universitas
Masyhad. Selanjutnya pada tahun 1960, beliau mendapat bea siswa dari pemerintah
untuk melanjutkan study di Universitas Sorbone di Prancis. Di
Prancis inilah Syari’ati tinggal selama lima tahun dan banyak menimba beragam
ilmu serta terlibat aktif dalam berbagai gerakan pembebasan. Di Prancis, beliau
banyak berkenalan dan berguru pada beberapa filosof dan ilmuwan terkemuka Prancis, seperti
Alexist Carrel, Jean Paul Sartre, Henry Bergson, Frans Fanon, Louis Massignon,
Albert Camus, dan tokoh-tokoh pemikir Prancis yang lainnya. Diantara
tokoh Prancis yang sangat mempengaruhi pemikiran beliau adalah Alexist Carrel,
seorang ilmuwan Prancis. Bahkan beliau menerjemahkan dan mengembangkan buku
karangan Alexist Carrel yang berjudul de
Prayer kedalam bahasa Arab dengan judul al-Du’a.
Diantara tokoh pemikir eksistensialisme yang cukup mempengaruhi pemikiran
Ali Syari’ati adalah Jean Paul Sartre, Soren Abeye Kierkegard, dan Nikholas
Bordayev. Selain itu Syari’ati juga banyak mengkaji pemikiran-pemikiran
Marxisme yang sedang booming pada masa
itu di dunia.
Selama di
Prancis, beliau aktif dalam gerakan politik pembebasan iran bersama Mustafa
Chamran dan ibrahim Yazdi. Di saat yang sama, beliau juga aktif dalam gerakan
“Front Nasional Kedua”. Selama tinggal di Prancis, Syariati juga ikut aktif
dalam gerakan pembebasan Aljazair. Setelah
beliau berhasil menyelesaikan program doktoralnya di Prancis, pada bulan
September 1964, beliau meninggalkan Prancis dan kembali ke kampung halamannya
di Iran.
Sesampainya
di Iran, Syari’ati ditangkap dan ditahan selama 1,5 bulan atas tuduhan terlibat
aktif dalam gerakan politik melawan pemerintah selama beliau di Prancis. Setelah
dibebaskan, beliau kemudian diterima mengajar di Universitas Masyhad. Selain
itu, Syari’ati juga mengajar di beberapa sekolah di Masyhad. Karena aktivitas
politiknya yang cukup membahayakan, Syari’ati kemudian dikeluarkan dari
Universitas Masyhad, dan selanjutnya beliau bersama Murtadha Muthahhari, Husein
Behesyti, serta beberapa ulama Syiah yang lain mendirikan lembaga pendidikan Huseiniyah Irsyad, Syari’ati sendiri
terlibat sebagai salah satu pengajarnya. Masa antara tahun 1967-1873 adalah
masa di mana Syari’ati menyibukkan dirinya untuk mengajar di Huseiniyah Irsyad serta terlibat aktif
dalam gerakan-gerakan politik melawan rezim Syah. Selama mengajar di Huseiniyah Irsyad beliau banyak
memberikan kuliah yang cukup membakar semangat anak muda Iran untuk melakukan
perlawanan terhadap pemerintah. Akibat kegiatannya ini, akhirnya beliau kembali
dipenjarakan selama lima ratus hari oleh pemerintah. Syari’ati baru dibebaskan
oleh pemerintah Iran pada bulan Maret 1975, itu pun setelah adanya desakan dari
berbagai organisasi internasional serta para tokoh intelektual Prancis dan
Aljazair.
Setelah
dibebaskan, Syari’ati menyadari bahwa dirinya tidak bebas melakukan aktivitas
politik selama tinggal di iran. Akhirnya pada tanggal 16 Mei 1977, beliau
meninggalkan Iran menuju ke Eropa. Tujuan pertama beliau adalah singgah di
inggris dan selanjutnya hendak ke Amerika Serikat untuk mengunjungi anaknya
yang kuliah di sana. Tapi, belum sempat beliau pergi ke Amerika, pada tanggal
19 juni 1977, beliau ditemukan meninggal secara misterius di rumah keluarganya,
di Schoumpton, Inggris.
Pemerintah Iran(rezim Syah) menyebutkan beliau meninggal akibat serangan
jantung, namun dugaan terkuat beliau dibunuh oleh agen SAVAK (agen intelejen
Iran).
Karena
aktivitas politiknya yang begitu padat dan usia beliau yang cukup singkat, Ali
syari’ati hanya sempat menulis dua buku secara khusus, yaitu Hajj (Haji) dan Kavir (Gurun Pasir), selebihnya adalah kumpulan kuliah dan ceramah
beliau yang kemudian dibukukan. Selain
itu juga sempat menerjemahkan dan menggubah beberapa buku, seperti Abu Dzar, Salman al-Farisi, dan de
Prayer karya Alexist Carrel. Telah banyak karya beliau yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pemikiran-pemikiran beliau yang cukup
filosofis dan revolusioner telah cukup banyak mempengaruhi pemikiran Islam
modern yang berkembang di Indonesia.
C.
Senarai Memahami
Pikiran dan Bahasa Ali Syari’ati
Pemikiran Syari’ati bersfat multi dimensi
… Syari’ati dapat disebut pemikir politik keagamaan -politico religio thinker-
(Azyumardi Azra)
Memahami pemikiran Ali
Syariati terkait dengan berbagai macam hal dan diskursus keilmuan, tentu bukan
merupakan hal yang mudah, mengingat posisinya yang begitu getol dalam menanggapi segala hal yang dihadapi, bisa dikata bahwa Syariati
adalah salah satu tokoh yang melahirkan berbagai macam diskurus kewacanaan
terkait dengan kompleksnya kehidupan. Ghulam Abbas Tawassuli, memuji Syari’ati
sebagai sosok yang memiliki kesadaran dan intuisi yang tajam, keberanian
berpikir, dan ketinggian jiwa, dan hal tersebut adalah sebagian dari karakter
manusia terpuji yang dimiliki oleh Ali Syari’ati.
Memahami sosok dan
pemikiran Syari’ati adalah memahami sosok seorang perenung yang resah,
spiritualis yang humanis, muslim (Syiah) yang taat, intelektual yang tercerahkan, dan orator yang
propagandis dan puitis. Karena itulah, Memahami pikiran seorang Ali Syari’ati
tidaklah mudah, melihat kompleksitas diri dan pikirannya. Ali Syari’ati tahu
dan sadar betul bahwa ia hidup di tengah-tengah masyarakat muslim (khususnya
bangsa Iran) yang sedang berada dalam suasana penindasan, kesaliman,
keterbelakangan, kebodohan, apatisme. Di sisi lain, Ali Syari’ati diperhadapkan
pada fenomena kaum intelektual dan ulama yang diam, intelektual yang hanya
sibuk berasyik-ma’syuk dengan keilmuan tapi tak mampu menjadi
intelektual yang membawa pencerahan, atau ulama yang hanya sibuk dengan
pengajaran dogama keagamaan dan abai terhadap spirit pemebbasan dari agama
(Islam). Bahkan yang lebih miris lagi, sebagain intelektual dan ulama tersebut
makin melegitimasi kelanggengan kezaliman dan penindasan. Pada situasi seperti
inilah, Ali Syari’ati hidup dan merenungkan kehidupannya.
Di sisi lain Ali
Syari’ati adalah seorang spiritualis yang humanis, Seerti yang dituturkan oleh
Ali Rahmena, pada tahun 1964, Ali Syari’ati gnostisisme yang telah ia alami
sejak masa kanak-kanak akhirnya menjadi “halilintar” yang mentransformasikan
kehidupannya dan memikatnya kepada sufisme. Tulisan-tulisan Ali Syari’ati pada
masa ini bisa dipandang sebagai bukti pencarian gnostiknya. Dengan menjelaskan
proses pencarian jiwa dan pencapaian kebenaran, Ali Syari’ati menggambarkan
pencariannya terhadap kesempurnaan tujuan semua sufi.
Sebagai seorang spiritualis, Ali Syari’ati
tidak serta-merta larut dalam keasyikan spiritual dan abai terhadap dunianya,
Ali Syari’ati benar-benar meyakini bahwa spiritualitas harus berbanding lurus
dengan pencerahan dan pembebasan. Spiritualis sejati adalah seperti sosok imam
Ali dan Imam Husein yang tampil sebagai agen yang memperjuangkan pembebasan
umat. Sosok Ali Syari’ati yang spiritualis-humanis ini tampak pada pemikiran
beliau mengenai haji. Dalam pandangan Syari’ati, haji adalah sebuah ritual yang
membawa kita pada sebuah refleksi evolusi eksistensial dan setiap ritus haji
mengantarkan manusia pada makna pembebasan yang sesungguhnya.
Aspek lain yang tak
bisa kita lupakan dalam memahami sosok Ali Syari’ati adalah bahwa beliau
sebagai seorang penganut Syiah yang fanatik yang percaya bahwa Syiah adalah
ideologi yang revolusioner. Refleksi seorang Ali Syari’ati sebagai sosok muslim
Syiah yang taat dan revolusioner dapat kita lihat dalam berbagai
tulisan-tulisan beliau yang menjadikan beberapa doktrin khas Syiah seperti imamah,
asyura, Mahdiisme, dan lainnya sebagai basis dari pikiran-pikiran
revolusioner beliau. Ali Syari’ati adalah orang yang percaya betul terhadap
doktrin Syiah, hanya saja refleksi beliau terhadap doktrin-doktrin tersebut
menjadikan nuansa yang berbeda dari pemahaman banyak kalangan Syiah lainnya.
Selain
sebagai seorang muslim (Syiah) yang taat, sosok Syari’ati juga harus dipahami
sebagai seorang intelektual yang tidak eksklusif pada suatu pemikiran tertentu.
Pengalaman beliau kuliah di Sorbone University Paris, membuat Ali Syari’ati
makin dekat dengan pemikiran-pemikiran Barat, sosok pemikir Barat seperti Franz
Fanon, Alexist Carrel, Jean paul Sartre, bahkan Karl Marx, dan lain-lain banyak
menginspirasi konstruksi pemikiran Ali Syari’ati. Karena begitu banyak
terpengaruh oelh pemikiran Barat, Ali Syari’ati kerap dituduh sebagai agen
rahasia Marxisme dan Babisme. Sebagai
seorang inteletual yang banyak concern pada tema-tema sosiologi, Ali
Syari’ati sangat tertarik pada hubungan dialektis antara teori dan praktek,
antara ide dan kekuatan sosial, dan antara kesadaran dan eksistensi
kemanusiaan. Ali Syar’ati memiliki komitmen yang tinggi untuk peragian (decay)
gerakan-gerakan revolusioner, khususnya agama radikal.
Ali
Syari’ati juga mesti dpahami sebagai seorang orator ulung yang tampil sebagai
propagandis revolusi Islam Iran. Beliau tampil sebagai orator yang bersemangat,
retoris, dan artikulatif dan sangat banyak memikat orang, khususnya kaum muda
Iran. Sebagai seorang propagandis, Ali Syari’ati kerap menggunakan jargon-jargon
yang mengkritik tajam institusi-institusi yang sudah mapan. Karena sebagai
seorang propagandis yang berbahaya inilah, Ali Syari’ati kemudian “dibereskan”
oleh agen SAVAK (intelejen Iran di masa Syah Pahlevi) saat beliau berada di
London pada tahun 1977. Sebagai seorang orator dan propagandis ulung, Ali
Syari’ati kerap menggunakan gaya bahasa yang simbolik dan provokatif yang kerap
keseluruhan maksudnya sangat sulit ditangkap, penggunaan bahasa simbolik inilah
yang membuat sedikit kesulitan dalam melacak maksud dari pemikiran Ali
Syari’ati. Pemilihan bahasa simbolik dilakukan secara sadar oleh Syari’ati. Ia
secara sadar memilih bahasa simbolik dibandingkan bahasa expository yang
lugas. Menurut Syari’ati bahasa simbolik (dan puitik) yang menyatakan makna
lewat simbol-simbol dan imaji adalah bahsa yang paling indah dan halus
dibanding bahasa yang pernah dikembangkan oleh manusia. Bahasa simbolik jauh
lebih universal, lebih mendalam, dan lebih abadi dibandingkan bahasa eksposisi
yang maksud dan kejelasannya terbatas pada waktu dan tempat. Rupanya
Ali Syari’ati ingin mengabadikan pesan-pesannya untuk semua waktu dan tempat,
meski konsekuensinya menjadi sulit melacak pemikiran Ali Syari’ati. Pemilihan
Ali Syari’ati pada bahasa simbolik dalam menyampaikan pesan-pesannya, sangat
dipengaruhi pula oleh transformasi spiritual yang ia alami. Menurut Ali
Rahmena, Ali Syari’ati menggunakan seni membuka konsep, sebuah bahsa yang
memiliki sebuah makna yang kelihatan dan superfisila yang sementara menutupi
sejumlah teka-teki.
Sosok Ali
Syari’ati yang multi-atribut sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya
membuat pemikrian Ali Syari’ati bersifat multi dimensi, dan karenanya multi
interpretable. Namun demikian, kita tetap masih bisa melihat konsistensi
pandangan dunia dalam tulisan-tulisan beliau. Pandangan-pandangan Ali Syari’ati
yang menonjol adalah menyangkut hubungan antara agama dan politik, yang dapat
dikatakan menjadi dasar dalam ideologi pergerakannya. Dalam konteks inilah,
Azyumardi Azra menyebut Ali Syari’ati sebagai pemikir politik keagamaan (politico
religio thinkeri).
Memahami
epistemologi atau manhaj pemikiran Ali Syari’ati tak lepas dari memahami
sosok Ali Syari’ati secara utuh, sosok Ali Syari’ati yang multi atribut dan
multi dimensi. Ali Syari’ati menghadirkan pikirannya melalui dialektika antara
idealita konsep dengan kenyataan serta praktek sosial, Ali Syari’ati adalah
orang yang gemar melakukan refleksi kritis terhadap doktrin-doktrin (baik
teologi maupun ritual) Islam guna menghadirkan muatan ideologi Islam yang
revolusioner. Ali Syari’ati adalah pemikir inklusif yang sangat terbuka
terhadap pemikrian Barat dan menjadikannya sebagai inspiring dalam
memahami ajaran Islam. Dan yang terpenting dari memahami pemikiran Ali
Syari’ati adalah beliau menggunakan bahasa simbolik dalam mengemas
pikiran-pikiran yang beliau sampaikan kepada publik. Ali Syari’ati lebih tampak
sebagai pemikir reflektif dibandingkan pemikir epistemik. Beliau tidak
meninggalkan sistematika atau konstruksi epistemologis yang jelas (sebagaimana
Murtadha Muthahhari), tapi beliau meninggalkan banyak catatan mengenai refleksi
kritis atas doktrin, teori, dan kenyataan sosial. Hal ini jualah yang membuat
kita menjadi sulit memahami pemikiran Ali Syari’ati secara sistemik, tapi,
seperti apa pun, sosok Ali Syari’ati dan pemikirannya adalah inspring
yang tak pernah kering. Karena Ai Syariati, sebagaiaman
diungkapkan oleh Sayyid Ali Khamene’i (pemimpin spiritual Iran) adalah pelopor
penjelasan masalah-masalah terbaru yang disingkap Islam modern, masalah-masalah
yang sulit dijawab dan dipahami generasi masa itu.
D.
Ali Syari’ati
tentang Pandangan Dunia dan Ideologi
Ideologilah yang mampu mengubah
masyarakat (Ali Syari’ati)
Pada dasarnya dalam menjalani kehidupan, manusia sangat bergantung
pada pola atau kerangka pikir yang kemudian disebut sebagai pandangan dunia
atau worldview. Secara sederhana
pandangan dunia adalah kerangka yang kita buat untuk melihat dunia dan berbagai
kejadian yang menyertainya. Berbagai kejadian dan peristiwa kita beri makna
dalam kerangka ini.
Menurut Murtadha Muthahhari, pandangan dunia inilah yang kemudian menjadi dasar
dari ideologi yang dianut oleh setiap individu dan golongan. Perbedaan pada
ideologi yang dianut oleh setiap manusia disebabkan perbedaan dalam hal
menyusun kerangka pandangan dunia Pandangan dunia, adalah bentuk dari sebuah
kesimpulan, penafsiran, dan hasil kajian yang ada pada seseorang berkenaan
dengan Tuhan, alam semesta, manusia, dan sejarah.
Gagasan apa pun yang
lahir dari seseorang pasti dipengaruhi oleh mazhab pemikiran yang ia anut. Jika
seseorang percaya pada mazhab pemikiran tertentu, maka kepercayaan, emosi,
jalan hidup, aliran politik, pandangan-pandangan sosial, konsep-konsep
intelektual, keagamaan dan etikanya tidaklah terpisah dengan pandangan
dunianya, dan karenanya pula maka mazhab pemikiran pada akhirnya dapat
menciptakan gerakan, membangun dan melahirkan kekuatan sosial.
Pandangan tentang dunia
menurut Ali Syari’ati adalah pemahaman yang dimiliki seseorang tentang wujud
atau eksistensi. Misalnya, seseorang yang menyakini bahwa dunia ini mempunyai
Pencipta Yang Sadar dan mempunyai kekuatan atau kehendak, dan bahwa dari
catatan dan rekaman akurat yang disimpan, ia akan menerima ganjaran atas amal
perbuatannya atau dia akan dihukum lantaran amal perbuatannya itu, maka ia
adalah orang yang mempunyai pandangan tentang dunia religius. Berdasarkan
pandangan tentang dunia inilah seseorang lalu mengatakan: ”Jalan hidupku mesti
begini dan begitu dan aku mesti mengerjakan ini dan itu”, inilah makna memiliki
ideologi agama. Dengan demikian, idealism Hegel, materialisme dialektik Marx,
eksistensialisme Heiddeger, Taoisme Lao Tsu, wihdatul wujud al-Hallaj,
semuanya adalah pandangan tentang dunia. Setiap pandangan tentang dunia ataupun
mazhab pemikiran pasti akan memperbincangkan konsep manusia sebagai konsep
sentral.
Pandangan tentang dunia
seseorang dipengaruhi oleh aspek-aspek spiritual dan material yang khas dari
masyarakatnya. Menurut Henry Bergson, dunia yang dipandang oleh seorang
individu yang hidup dalam suatu masyarakat tertutup merupakan suatu dunia yang
terkungkung. Begitu juga sebaliknya, seorang individu yang hidup dalam
masyarakat yang terbuka memandang dunia luar sebagai sesuatu yang tidak terbatas,
ekspansif dan senantiasa bergerak. Masyarakat dan agama selalu menentukan visi
manusia tentang dunia yang kemudian mempengaruhi tindakan-tindakannya. Oleh
karena itu, membahas pandangan tentang dunia pada hakikatnya membahas tentang
manusia sebagai subjek. Karena pandangan tentang dunia mempengaruhi seseorang
dalam mengambil pilihan tindakannya, maka mempelajari pandangan hidup suatu
komunitas sosial atau bangsa berarti mempelajari tipe-tipe dari bentuk-bentuk
dan pola kebudayaan serta berbagai karakteristik yang dikembangkan oleh
komunitas atau bangsa tersebut.
Di tengah dominasi
pandangan tentang dunia yang materialistik sekarang ini, Ali Syari’ati
menegaskan dirinya pada pilihan pandangan dunia religius. Jenis pandangan dunia
ini yakin bahwa jagat raya adalah sesuatu yang datang dari Tuhan, sadar dan
responsif terhadap tuntutan-tuntutan spiritual serta aspirasi manusia. Hanya
saja, kerangka dasar pandangan dunia yang bersifat religius yang dimaksud
adalah cara pandang yang berbasis pada hasil riset ilmiah yang bersifat
saintifik bukan bentuk yang ortodoks atau ekstrim. Ali Syari’ati mengambil
pilihan pandangan hidup sintetik di antara kutub ekstrim di atas yaitu
pandangan hidup religius humanistik yang mensublimasi unsur manusia
sebagai makhluk yang progresif, selalu mencari kesempurnaan dan sangat
manusiawi.
Ali Syari’ati
menawarkan gagasan pandangan tentang dunia religius humanistik untuk
memerangi dualisme kelas antara kelas penguasa dan yang dikuasai, antara kelas
borjuasi dan proletariat, sehingga manusia akan menemukan keesaan yang orisinil
dalam rangka membangun kesadaran manusia pada misinya sebagai wakil atau
khalifah Tuhan di muka bumi. Menurutnya, manusia adalah makhluk merdeka dan
memiliki potensialitas tanpa batas untuk menentukan nasibnya sendiri dan bukan
ditentukan oleh kekuatan eksternal dengan membangun semangat Tauhid.
Pandangan dunia
akhirnya bermetamorfosa dan membentuk ideologi sebagai keyakinan dan cita-cita
yang dianut oleh kelompok tertentu. Ali Syari’ati melakukan redefenisi tentang
pemahaman ideologi. Dimulai dari pendekatan etimologis, Ali Syari’ati
menjelaskan bahwa ideologi terdiri atas dua kata, idea dan logi. Idea
berati pemikiran, gagasan, keyakinan, cita-cita, dan kata logi yang
berarti logika, ilmu, atau pengetahuan, dengan demikian ideologi adalah ilmu
tentang cita-cita atau keyakinan. Menurut pengertian ini, seorang ideolog
adalah seorang pembela suatu ideologi atau keyakinan tertentu. Dengan demikian,
ideologi terdiri dari berbagai keyakinan dan cita-cita yang dianut oleh suatu
kelompok tertentu, kelas sosial tertentu, atau suatu bangsa.
Menurut
Ali Syari’ati, ideologi adalah fitrah
yang paling penting dan bernilai serta merupakan kesadaran diri yang istimewa
dalam diri manusia. Kesadaran ideologis, menurut Ali Syari’ati merupakan kesadaran khusus
yang khas bagi manusia tanpa terkecuali.
Hal tersebut dikarenakan, ideologi menjadi “kebutuhan” manusia yang paling
mendasar untuk memberi arah atau petunjuk dalam mengungkap kebenaran sampai ke
tingkat melakukan verifikasi atas tindakan masyarakat serta kondisi-kondisi
sosial yang melingkupinya. Secara sederhana, ideologi berperan dalam pemberian
cara pandang, membentuk pemahaman, serta mengarahkan prilaku manusia dalam
berinteraksi dengan dunianya.
Berkebalikan
dengan pandangan Marx dan Weber yang berpandangan ideologi dibentuk oleh
struktur masyarakat. Syari’ati justru menyatakan bahwa, dengan kesadaran diri
(ideologi) inilah manusia membentuk masyarakat.
Ideologi menempati posisi yang begitu kuat dalam pikiran dan keyakinan manusia.
Dan ideologi, tetap diperpegangi sebagai penuntun hidup yang paripurna bagi
para penganutnya. Bagi Ali Syari’ati hanya ideologilah yang mampu merubah
masyarakat, karena sifat dan keharusan ideologi yang meliputi keyakinan, tanggung
jawab, dan keterlibatan untuk komitmen.
Pandangan Ali Syari’ati ini, senada dengan pandangan
Antonio Gramsci, yang menyatakan bahwa ideologi, lebih dari sekedar sistem ide. Ideologi secara historis
memiliki keabsahan yang bersifat psikologis (ideologi memberikan spirit
perjuangan). Selain itu, ideologi mengatur dan memberikan tempat bagi manusia
untuk bergerak dan, mendapatkan kesadaran mengenai posisi mereka maupun
perjuangan mereka dalam kehidupannya.