Pandangan
Tauhid dalam pemikiran Ali Syari’ati, dia sebut dengan istilah Tauhid Wujud
yang ilmiah dan analitis.[1] Ali
Syari’ati memandang Tauhid lebih dari sekedar teologi, melainkan memandang
Tauhid sebagai pandangan dunia. Ali Syari’ati tidak mendedah konsep Tauhid
dengan pendekatan teoogis, mistis, ataupun filosofis, tapi merefleksikan Tauhid
dalam kerangka pandangan dunia dan ideologi. Basis ontologis Tauhid Wujud
sebagai pandangan dunia adalah memandang semesta sebagai satu kesatuan, tidak
terbagi atas dunia kini dan akhirat nanti, atas yang alamiah dan yang supra
alamiah, atau jiwa dan raga. Tauhid Wujud memandang seluruh eksistensi sebagai
bentuk tunggal, organisme tunggal yang memilliki kesadaran, cipta, rasa, dan
karsa.[2]
Untuk
menjadikan Islam sebagai ideologi yang mampu dipraksiskan dalam kehidupan dan
memberi implikasi yang positif bagi manusia. Syari’ati menyajikan secara detail
tahapan-tahapan ideologi. Pada tahap pertema, Syari’ati berangkat dari satu
pertanyaan mendasar mengenai kedudukan manusia dalam berhubungan dengan Tuhan
dan alam semesta. Untuk menjelaskan hal tersebut, terlebih dahulu Syari’ati meletakkan
pandangan dunia Tauhid sebagai pandangan dunia yang mendasar. Bagi Ali
Syari’ati, Tauhid tak sekedar pemahaman, lebih dari itu, Tauhid adalah ideologi
pembebasan. Basis ideologi Ali Syari’ati adalah Tauhid, sebuah pandangan dunia
mistik-filosofis yang memandang jagad raya sebagai sebuah organisme hidup tanpa
dikotomisasi. Sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Ali Syari’ati, bahwa Tauhid
meninggalkan lingkaran diskusi, penafsiran, dan perdebatan filosofis, teologis,
dan ilmiah, Tauhid masuk dalam urusan masyarakat. Di dalam Tauhid tercakup
berbagai masalah yang menyangkut hubungan sosial.[3]
Menurut
Syari’ati, pandangan dunia Tauhid mengindikasikan secara langsung bahwa
kehidupan adalah suatu bentuk yang tunggal.[4]
Kehidupan adalah kesatuan dalam trinitas tiga hipotesis, yaitu Tuhan, manusia,
dan alam. Tauhid menyatakan bahwa alam adalah sebuah totalitas kreasi harmoni.
Hal ini tentu saja berbeda secara fundamental dengan pandangan dunia yang
membagi realitas dunia ke dalam dua kategori yang dikotomistik-binerian;
materi-non materi, jasmani-ruhani, khalq-makhluk,
alam fisik-alam gaib, serta individu-masyarakat. Dalam pandangan Ali Syari’ati,
hal tersebut adalah syirik atau lawan dari Tauhid karena menentang pandangan
kesatuan antara Tuhan, manusia, dan alam. [5] Dengan kata lain pandangan dunia Tauhid adalah
pandangan dunia yang melihat kenyataan sebagai realitas yang holistik,
universal, integral dan monistik.
Semua
makhluk dan objek di alam semesta yang merupakan refleksi atas kebesaran Tuhan.
Pandangan dunia Tauhid merupakan pandangan dunia yang integral. Pandangan dunia
Tauhid memberikan “kelonggaran” bagi manusia untuk mengembangkan kebebasannya,
sehiingga manusia bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang
dilakukannya. Pandangan dunia Tauhid juga memandang bahwa manusia sebagai insan yang memiliki kemerdekaan dan
martabat yang sangat tinggi.[6]
Berbeda
dengan pandangan kaum eksistensialisme ateistik, seperti Sartre yang menyatakan
dengan tegas bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.[7] Sartre,
menafikan Tuhan dalam kaitannya dengan kebebasan manusia dalam eksistensinya.
Meenurut Sartre, ada tidaknya Tuhan tidak akan mengubah penghayatan manusia
tentang dirinya sebagai eksistensi.[8] Penafian
Tuhan dalam gerak “mengada” manusia juga dilontarkan oleh filosof materialis
Jerman, Ludwig Van Feurbach, yang menyatakan bahwa Tuhan tak lebih hanyalah
proyeksi akal pikiran manusia semata. Realitas tuhan yang sejati tak lain
hanyalah diri manusia itu sendiri yang dilemparkan oleh manusia menjadi satu
sosok di luar dirinya dan berkuasa atas dirinya.[9] Kedua
filosof tersebut menganggap manusia benar-benar menjadi sentrum eksistensi dari alam semesta ini. Pendapat kedua tokoh
tersebut, termasuk juga para pemikir materialisme ateistik yang lain, dapat
digambarkan secara puitis, sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad Zuhri,
“Ketahuilah, bahwa bermilyar tahun alam semesta tidak sadar akan dirinya, dan
ketika ia sadar akan dirinya, manusialah wujudnya.”[10]
Dalam
pandangan dunia Tauhid, Tuhan adalah tujuan yang kepadaNyalah seluruh
eksistensi dan makhluk bergerak secara simultan, dan Dia jualah yang menentukan
tujuan dari alam semesta ini. Penyembahan terhadap kekuatan Absolut (Allah Yang
Esa) yang merupakan seruan terbesar dari ajaran Ibrahim as, terdiri atas seruan
kepada semua manusia untuk menyembah Penguasa tunggal di jagad raya ini.
Penyembahan tersebut dimaksudkan untuk mengarahkan perhatian manusia kepada satu
tujuan penciptaan dan untuk mempercayai satu kekuatan yang paling efektif dari
seluruh eksistensi dan sebagai tempat berlindung dan bergantung manusia
sepanjang hayat dan sejarah.[11]
Sebagaimana
dikatakan oleh seorang sufi besar, Farid al-Din al-Athar, “bila kau ingin
sempurna, carilah kesemestaan, pilihlah kesemestaan, dan jadilah kesemestaan.”[12] Dalam
pandangan dunia Tauhid, hakekat kesejatian manusia adalah potensi Ruh Allah
yang telah ditupkan dalam diri manusia. Ruh Allah tersebut adalah “kesemestaan”
sebagaimaana yang dimaksud oleh al-Athar. Ruh Allah adalah realitas paling
sublim dan ultim dalam diri manusia yang menjadi modus bagi eksistensi manusia
dalam kehidupannya.
Tauhid
sebagai modus eksistensi manusia, digambarkan oleh Syari’ati dalam pembahasannya
yang sangat romantik, reflektif, dan revolusioner tentang ibadah haji. Beliau
mengatakan, ibadah haji menggambarkan “kepulangan” manusia kepada Allah yang
Mutlak dan Tidak Terbatas, serta tidak ada yang menyerupaiNya. Perjalanan
“pulang” kembali kepada Allah menunjukkan suatu gerakan yang pasti menuju
kesempurnaan, kebaikan, kebenaran, keindahan, pengetahuan, kekuatan,
nilai-nilai, dan fakta-fakta.[13]
Tauhid
sebagai modus eksistensi bermakna, bahwa Allah adalah tempat asal dan tempat
kembali manusia. dariNyalah seluruh atribut Ilahiyah
yang dimiliki oleh manusia berasal. Berbeda dengan filsafat eksistensialisme
Jean Paul Sartre, yang menganggap Tuhan sebagai sosok yang menghalangi
kebebasan manusia. Syari’ati memandang, bahwa tuhan adalah sosok pembebas bagi
manusia, dengan melakukan upaya pendekatan diri kepadaNya, maka manusia akan
terbebas dari nilai-nilai lumpur busuk yang kotor dan melambangkan keadaan
manusia yang dehumanis menuju Ruh Allah yang suci sebagai sumber seluruh
nilai-nilai humanisme yang universal.
Pandangan
dunia Tauhid menuntut manusia hanya takut pada satu kekuatan, yaitu kekuatan
Tuhan, selain Dia adalah kekuatan yang tidak mutlak alias palsu. Tauhid
menjamin kebebasan manusia dan memuliakan hanya semata kepadaNya. Pandangan ini
menggerakkan manusia untuk melawan segala kekuatan dominasi, belenggu, dan
kenistaan manusia atas manusia. Tauhid memiliki esensi sebagai gagasan yang
bekerja untuk keadilan, solidaritas, dan pembebasan.[14]
Implikasi logis dari pandangan dunia Tauhid adalah bahwa menerima kondisi
masyarakat yang penuh kontradiksi dan diskriminasi sosial, serta menerima
pengkotak-kotakan dalam masyarakat sebagai syirik. Dengan demikian, dalam
pandangan Ali Syari’ati, masyarakat tanpa kelas adalah sebuah konsekuensi dari
Tauhid.
A.
Falsafah Penciptaan
Manusia dan Insan kamil: Dari Teosentris Hingga Teomorphis.
Manusia = Ruh Allah + lempung busuk (Ali
Syari’ati)[15]
Ali
Syari’ati memulai pembahasannya tentang manusia dimulai dari filsafat
penciptaan Adam. Dalam pandangan Syari’ati, Adam adalah simbol representatif
dari manusia secara keseluruhan. Dalam menafsirkan penciptaan Adam, Syari’ati
membahas kejadian Adam yang diciptakan dari Ruh Allah dan lumpur busuk. Kedua
term tersebut dimaknai secara simbolik, Lumpur busuk bermakna kerendahan,
stagnasi, dan pasivitas mutlak. Sedangkan Ruh Allah adalah simbol dari gerakan
tanpa henti menuju kesempurnaan dan kemuliaan yang tidak terbatas.[16]
Manusia
adalah sintesa dari kedua hal tersebut, dan kedua hal tersebut (lumpur busuk
dan Ruh Allah)) senantiasa tarik menarik dan akhirnya akan memaksa manusia
untuk memilih salah satunya.[17] Pada
masa awal penciptaannya manusia berada pada titik netral, dan seiring dengan
perjalanan hidupnya manusia melakukan gerak evolusi, baik evolusi progresif
menuju Ruh Allah maupun evolusi regresif menuju lumpur busuk. Jika manusia
melakukan evolusi progresif maka manusia akan tiba pada kemuliaan dan
kesempurnaannya yang hakiki (“bersatu denganNya”). Sedangkan jika yang terjadi
adalah evolusi regresif maka manusia jatuh derajatnya dan hanya setara dengan
lumpur busuk, yang dalam bahasa Alquran disebut lebih jelek dari binatang
ternak.
Setelah
Tuhan menciptakan Adam, kemudian Tuhan mengajarkan kepada Adam pengetahuan
tentang “nama-nama” segala sesuatu. Jadi dalam penciptaan manusia, Tuhan adalah
pencipta sekaligus sebagai guru pertama bagi manusia. Dan selanjutnya, manusia
kemudian tampil sebagai pemberi nama bagi dunianya. Karena “perlakuan” Tuhan
yang begitu istimewa kepada manusia, malaikat pun protes kepada tuhan, karena Tuhan
telah mengistimewakan manusia. Menanggapi protes malaikat tersebut, Tuhan pun
kemudian meminta Adam untuk mendemonstrasikan kemampuannya di hadapan para
malaikat, lalu Tuhan menyuruh malaikat untuk sujud kepada Adam. Syari’ati
menyatakan, sujudnya malaikat kepada Adam adalah perlambang dari humanisme.
Derajat manusia diangkat sedemikian rupa setingkat lebih tinggi dari para
malaikat suci. Ketinggian derajat manusia atas malaikat bukanlah karena
rasialisme, melainkan karena manusia memiliki pengetahuan.[18]
Satu hal
yang menarik dalam falsafah penciptaan manusia menurut Syari’ati, yaitu hanya
manusia sajalah yang diberikan amanah oleh Tuhan untuk mengemban tugas sebagai khalifahNya. Oleh karena manusia
memiliki kemampuan dan keyakinan untuk mengemban tugas berat tersebut. Maka
terbuktilah bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan keberanian, keutamaan,
kearifan dan kebijakan di alam semesta. Manusia bukan hanya sekedar sebagai khalifahNya, melainkan juga pengemban
amanahNya, dan penjaga karuniaNya yang paling berharga. Beliau mengutip
pernyataan Jalal al-Din al-Rumi, bahwa amanat dan karunia Tuhan itu adalah
kehendak bebas.[19]
Syari’ati
membagi manusia ke dalam dua kategori, yaitu insan dan basyar. Basyar adalah keberadaan manusia dalam
tahap makhluk yang biasa (being),
yang tak memiliki kemampuan berubah sebagaimana makhluk Tuhan yang lain. Basyar dalam istilah Alquran memiliki
kesamaan arti dengan istilah l’etre en
soi atau being in self (ada dalam diri) dalam filsafat
eksistensialisme Jean Paul Sartre. Bering
in self adalah modus keberadaan
manusia yang statis, pasif, netral (tidak afirmatif dan tidak juga negatif),
dan tanpa tujuan.[20] L’etre en soi sebagaimana basyar adalah keberadaan manusia sebagai
“seonggok” benda yang tak memiliki kesadaran dan kehendak bebas. Sedangkan insan adalah manusia dalam artian
“menjadi” (becoming). Atau dengan
kata lain insan adalah keberadaan
manusia yang telah diberikan daya oleh kekuatan Ruh Ilahi, sehingga mampu
bergerak dinamis. Konsep insan dalam
pemikiran Syari’ati identik dengan konsep l’etre
pour soi atau being for self (ada
untuk diri). L’etre pour soi adalah
modus keberadaan manusia yang berbeda dengan l’etre en soi. L’etre pour
soi adalah modus keberadaan manusia yang memiliki kesadaran akan diri dan
realitas disekitarnya dan kehendak bebas dalam menentukan pilihannya, sehingga
manusia dapat melakukan gerak aktif dan dinamis sebagai makhluk yang “menjadi”.
Pembagian Syari’ati terhadap dua kategori keberadaan manusia ini sangat mungkin
diinspirasi oleh pemikiran eksistensialisme Jean paul Sartre. Namun, berbeda
dengan Sartre, Ali Syari’ati gerak kemenjadian manusia memiliki tujuan yang
jelas yaitu Allah sebagai sentrum dan modus eksistensi. Ali Syari’ati
mengkritik Sartre dengan menyatakan moral eksistensialismenya dan konsekuensi-konsekuensinya
yang menggelikan.[21]
Menurut
Ali Syari’ati, manusia sempurna atau manusia ideal adalah khalifah Tuhan yang menerima amanah Tuhan berupa kesadaran diri,
kehendak bebas, dan kreatifitas yang mewujud dalam diri manusia sebagai makhluk
dua dimensi. Dengan adanya pertarungan dua unsur dalam diri manusia (Ruh Allah dan lumpur busuk) memungkinkan
manusia untuk berproses menjadi manusia ideal (insan kamil). Karena dengan adanya potensi kesadaran, kehendak
bebas, dan kreatifitas yang dimiliki manusia, memungkinkan bagi manusia untuk
melakukan pertarungan “di dalam dirinya sendiri”, dan berakhir dengan kemampuan
manusia untuk memenangkan dimensi Ruh Allah atas unsur lumpur busuk, dengan
berakhlak sebagaimana akhlak Allah.[22]
Manusia
ideal adalah manusia theomorphis,[23] yaitu
manusia yang dalam pribadinya, ruh Allah telah memenangkan pertarungan atas
belahan dirinya yang berkaitan dengan lumpur busuk, sebagai representasi Iblis.
Manusia ideal, adalah manusia yang telah terbebas dari kebimbangan dan kontradiksi
dari “dua infinita”.[24] Menurut
Syari’ati manusia ideal, memiliki tiga ciri utama, yaitu kebenaran, kebaikan,
dan keindahan. Dengan kata lain manusia ideal adalah manusia yang mampu
memadukan secara integral pengetahuan, akhlak, dan seni dalam dirinya. Ia
adalah khalifah Allah yang komitmen
terhadap tiga anugerah Allah kepadanya, yaitu kesadaran diri, kehendak bebas,
dan kreatifitas. Manusia ideal adalah khalifah
Allah yang telah menempuh jalan penghambaan yang sukar sembari memikul beban
amanah, hingga ia sampai ke ujung batas dan menjadi khalifah dan “pemegang amanahNya”.[25] Manusia
theomorphis adalah manusia yang berakhlak sebagaimana akhlak Allah.
Manusia
menjadi ideal bukan karena menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan seraya
mengesampingkan urusan kemanusiaan, dan bukan pula manusia yang menafikan Tuhan
dalam gerak kehidupannya. Manusia menjadi sempurna, justru karena terlihat
dalam perjuangan kesempurnaan umat manusia secara menyeluruh.[26] Menurut
Syari’ati, manusia menjadi ideal adalah dengan menemukan dan memperjuangkan
umat manusia, dan dengannya ia akan “menemukan” Tuhan. Dengan kata lain manusia
ideal adalah manusia yang tidak meninggalkan alam dan sesama manusia,[27] sembari
di saat yang sama ia terus melakukan “hubungan mesra” dengan Tuhan sebagai
kekasihnya.
Syari’ati
dengan sangat puitis mendeskripsikan mausia ideal tersebut sebagai manusia yang
akalnya senantiasa berpikir filosofis, tapi hal ini tidak lantas membuatnya
terlena atas nasib umat manusia. Keterlibatan politik tidak membuatnya demagog
dan riya. Ilmu tidak membuat
keyakinan dan cita-citanya menjadi luntur. Sedangkan keyakinannya tidak
menumpulkan akalnya dan menghalangi deduksi logisnya. Kesalehan tidak
membuatnya menjadi pertapa yang tak berdaya (asketik). Aktivitas sosial tidak membuat tangannya ternoda oleh
immortalitas. Manusia ideal adalah manusia jihad dan ijtihad, manusia syair dan pedang, manusia kesepian dan komitmen.
Emosi dan genius, kekuasaan dan cinta kasih, keyakinan dan pengetahuan. Dia
adalah manusia yang menyatukan semua dimensi kemanusiaan sejati.[28]
Penggambaran Ali Syari’ati tersebut tentang sosok mansuia ideal nyaris mustahil
ditemukan dalam realitas kemanusiaan saat ini yang penuh dengan kepalsuan.
Tapi, jika kita kembali pada tujuan sejati penciptaan manusia maka kita akan
meyakini secara pasti, disetiap masa pasti ada satu manusia yang dengan
kesungguhannya berhasil meraih derajat mulia tersebut.
B.
Khatimah
Ali Syari’ati adalah sosok yang berhasil
melakukan transformasi Tauhid, hingga Tauhid menjadi pandangan yang dapat
benar-benar hidup dan menyentuh realitas.
Ali Syari’ati memahami
agama bukan sebagai kumpulan doktrin yang lebih berdimensi ritual saja.
Menurutnya, agama adalah sumber lahirnya kesadaran (awareness), landasan
etik (morality), tanggungjawab (responsibility) dan kehendak
bebas (free will) yang mampu menggerakkan pemeluknya menjadi kekuatan
pembebas dari determinasi ideologi-ideologi multitheism yang menindas.
Bagi Ali Syari’ati Tauhid tak sekedar teologi yang diperbincangkan pada ranah
keilmuan dan filsafat, tapi Tauhid adalah ideologi paripurna tentang
integralisme kehidupan dari yang Satu, dalam kesatuan, menuju Yang Satu.
Bagi Syari’ati, Tauhid
dimulai dari pemahaman yang ilmiah, filosofis, dan analitis tentang Tuhan
menuju pada pembebasan kemanusiaan universal dari berhala diri dan berhala
sosial. Tauhid adalah fondasi ideologi pembebasan yang menegasi segala bentuk
diskriminasi menuju pada egalitarianisme (persamaan) manusia..Tauhid adalah
spirit perlawanan atas kezaliman dan penindasan berdasar pada nilai-nilai
keadilan. Dalam pandangan Ali Syari’ati, Tahid adalah pembebasan (liberasi),
persamaan (egalitarianisne), dan keadilan (justice) universal.
Dalam pandangan Ali
Syari’ati Tauhid adalah ephisentrum kehidupan dan modus eksistensi.
Tauhid meniscayakan pandangan dunia yang teosentrik dengan orientasi menuntun
manusia dalam gerak evolusi eksistensial menjadi manusia teomorphis,
manusia yang mengatribusi sifat-sifat Ketuhanan. Manusia theomorphis, manusia
yang kesadarannya menjulang tinggi ke langit, tapi baktinya menoreh aktivisme
di bumi. Cita manusia ideal yang tampil sebagai pembebas.
Jadilah manusia agung
Bagai seorang syahid
Seorang imam
Bangkit
Berdiri
Di antara rubah, srigala,
Tikus
Domba
Di antara nol-nol
Bagai Yang Satu
(Ali Syari’ati dalam puisi “Satu yang
Diikuti Nol-nol yang Tiada Habis-habisnya”)
[1]Ali Syari’ati, on the Sosicology Islam, Diterjemahkan
oleh Saifullah Mahyuddin dengan Judul Paradigma Kaum Tertindas, (Cet,
II; Jakarta: al-huda, 2001), h. 76.
[2]Ibid., h. 73.
[3]Eko Supriyadi, op. cit., h. 167.
[4] Muhammad Nafis, “Dari Cengkeraman Penjara Ego Menuju Revolusi:
Memahami ‘Kemelut’ Tokoh Pemberontak”, dalam M. Deden Ridwan (ed), op, cit., h. 85.
[5]Lihat Eko Supriyadi, op. cit.., h 163-164
[6] Muhammad Nafis, op. cit.,
h. 87.
[7] Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, (Cet, I; Jakarta:
Pustaka Jaya, 1992), h. 134.
[8] Ibid., h. 138.
[9]Lihat Donny Gahrial Adian, Arus Pemikiran Kontemporer (Cet. I ; Yogyakarta : Jalasutra, 1999), h. 7.
[10]Muhammad Zuhri, Langit-langit
Desa : Himpunan Hikmah dari Langit-langit Sekarjalak (Cet. I ; Bandung : Mizan, 1993), h.
34.
[11]Lihat Ali Syari’ati, Religion Versus
“Religion”, diterjemahkan oleh Afif Muhammad dan Abdul Syukur dengan Judul Agama Versus “Agama” (Cet. VII ; Jakarta : Pustaka Hidayah,
2000), h. 29.
[12]Eko Prasetyo Darmawan, Agama
Bukan Candu (Cet. I ; Yogyakarta : Resist
Book, 2005), h. 31.
[13]Ali Syari’ati, Hajj, op.
cit., h. 21.
[14]Eko Supriyadi, op. cit., h. 166.
[15]Ali Syari’ati, On the
Sociology Islam, op. cit., , h. 79.
[16]Ibid.
[17] Ekky Malakky, op, cit., h.
82
[18] Ibid..
[19]Ali Syari’ati, Man and Islam, op. cit.,
h. 8
[20] Save M. Dagun, Filsafat
Eksistensialisme, (Cet, I; Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 100.
[21]Ali Syari’ati mengkritik pandangan Jean Paul
Sartre tersebut dalam puisinya; “Kau akan berputar dan berputar terus dalam
lingkaran/kau akan beku/bagai sebuah laguna, bagai sebuah kolam/kau akan
menetap bagai sebuah lingkaran/bagai nol. Lihat Ahmad Nurullah, “Genesis: dari
Dentuman Besar ke Revolusi (Tinjauan filosofis tentang Puisi Ali Syari’ati)”,
dalam M. Deden Ridwan, op. cit., h. 228.
[22] Ekky Malakky, op,
cit., h. 115.
[23]Istilah manusia
theomorphis pada dasarnya bukanlah istilah dari Ali Syari’ati sendiri,
melainkan istilah ini pertama kali di gunakan oleh pemikir muslim asal anak
benua India, yaitu Muhammad Iqbal.
[24] Ali Syari’ati, On the
Sociology Islam, op, cit., h. 108.
[25] Ibid., h. 110.
[26] Hal ini senada dengan pernyataan Muhammad Iqbal, bahwa “manusia sempurna
bukanlah manusia yang memproyeksi Tuhan sebagaimana yang dikatakan oleh
Feurbach, dan bukan pula manusia yang “lenyap” dalam “diri Tuhan” sebagaimana
kaum panteis., manusia sempurna adalah manusia yang menyerap sifat-sifat Tuhan
dan menjadikannya sebagai elan vital bagi kekuatan yang mengubah dunia. Lihat Donny Gahrial Adian, op, cit., h. 18.
[27] Ekky Malakky, op, cit., h.
116.
[28] Ali Syari’ati, On the
Sociology Islam, op, cit., h. 109
0 comments:
Post a Comment
PARA GITTE SIPAKAINGA SIPASSIRIKI LINO AHERA'