Monday, May 7, 2012

Tauhid yang Membebaskan

0 comments

Pandangan Tauhid dalam pemikiran Ali Syari’ati, dia sebut dengan istilah Tauhid Wujud yang ilmiah dan analitis.[1] Ali Syari’ati memandang Tauhid lebih dari sekedar teologi, melainkan memandang Tauhid sebagai pandangan dunia. Ali Syari’ati tidak mendedah konsep Tauhid dengan pendekatan teoogis, mistis, ataupun filosofis, tapi merefleksikan Tauhid dalam kerangka pandangan dunia dan ideologi. Basis ontologis Tauhid Wujud sebagai pandangan dunia adalah memandang semesta sebagai satu kesatuan, tidak terbagi atas dunia kini dan akhirat nanti, atas yang alamiah dan yang supra alamiah, atau jiwa dan raga. Tauhid Wujud memandang seluruh eksistensi sebagai bentuk tunggal, organisme tunggal yang memilliki kesadaran, cipta, rasa, dan karsa.[2]
Untuk menjadikan Islam sebagai ideologi yang mampu dipraksiskan dalam kehidupan dan memberi implikasi yang positif bagi manusia. Syari’ati menyajikan secara detail tahapan-tahapan ideologi. Pada tahap pertema, Syari’ati berangkat dari satu pertanyaan mendasar mengenai kedudukan manusia dalam berhubungan dengan Tuhan dan alam semesta. Untuk menjelaskan hal tersebut, terlebih dahulu Syari’ati meletakkan pandangan dunia Tauhid sebagai pandangan dunia yang mendasar. Bagi Ali Syari’ati, Tauhid tak sekedar pemahaman, lebih dari itu, Tauhid adalah ideologi pembebasan. Basis ideologi Ali Syari’ati adalah Tauhid, sebuah pandangan dunia mistik-filosofis yang memandang jagad raya sebagai sebuah organisme hidup tanpa dikotomisasi. Sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Ali Syari’ati, bahwa Tauhid meninggalkan lingkaran diskusi, penafsiran, dan perdebatan filosofis, teologis, dan ilmiah, Tauhid masuk dalam urusan masyarakat. Di dalam Tauhid tercakup berbagai masalah yang menyangkut hubungan sosial.[3]
Menurut Syari’ati, pandangan dunia Tauhid mengindikasikan secara langsung bahwa kehidupan adalah suatu bentuk yang tunggal.[4] Kehidupan adalah kesatuan dalam trinitas tiga hipotesis, yaitu Tuhan, manusia, dan alam. Tauhid menyatakan bahwa alam adalah sebuah totalitas kreasi harmoni. Hal ini tentu saja berbeda secara fundamental dengan pandangan dunia yang membagi realitas dunia ke dalam dua kategori yang dikotomistik-binerian; materi-non materi, jasmani-ruhani, khalq-makhluk, alam fisik-alam gaib, serta individu-masyarakat. Dalam pandangan Ali Syari’ati, hal tersebut adalah syirik atau lawan dari Tauhid karena menentang pandangan kesatuan antara Tuhan, manusia, dan alam. [5]  Dengan kata lain pandangan dunia Tauhid adalah pandangan dunia yang melihat kenyataan sebagai realitas yang holistik, universal, integral dan monistik.
Semua makhluk dan objek di alam semesta yang merupakan refleksi atas kebesaran Tuhan. Pandangan dunia Tauhid merupakan pandangan dunia yang integral. Pandangan dunia Tauhid memberikan “kelonggaran” bagi manusia untuk mengembangkan kebebasannya, sehiingga manusia bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukannya. Pandangan dunia Tauhid juga memandang bahwa manusia sebagai insan yang memiliki kemerdekaan dan martabat yang sangat tinggi.[6]
Berbeda dengan pandangan kaum eksistensialisme ateistik, seperti Sartre yang menyatakan dengan tegas bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.[7] Sartre, menafikan Tuhan dalam kaitannya dengan kebebasan manusia dalam eksistensinya. Meenurut Sartre, ada tidaknya Tuhan tidak akan mengubah penghayatan manusia tentang dirinya sebagai eksistensi.[8] Penafian Tuhan dalam gerak “mengada” manusia juga dilontarkan oleh filosof materialis Jerman, Ludwig Van Feurbach, yang menyatakan bahwa Tuhan tak lebih hanyalah proyeksi akal pikiran manusia semata. Realitas tuhan yang sejati tak lain hanyalah diri manusia itu sendiri yang dilemparkan oleh manusia menjadi satu sosok di luar dirinya dan berkuasa atas dirinya.[9] Kedua filosof tersebut menganggap manusia benar-benar menjadi sentrum eksistensi dari alam semesta ini. Pendapat kedua tokoh tersebut, termasuk juga para pemikir materialisme ateistik yang lain, dapat digambarkan secara puitis, sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad Zuhri, “Ketahuilah, bahwa bermilyar tahun alam semesta tidak sadar akan dirinya, dan ketika ia sadar akan dirinya, manusialah wujudnya.”[10]
Dalam pandangan dunia Tauhid, Tuhan adalah tujuan yang kepadaNyalah seluruh eksistensi dan makhluk bergerak secara simultan, dan Dia jualah yang menentukan tujuan dari alam semesta ini. Penyembahan terhadap kekuatan Absolut (Allah Yang Esa) yang merupakan seruan terbesar dari ajaran Ibrahim as, terdiri atas seruan kepada semua manusia untuk menyembah Penguasa tunggal di jagad raya ini. Penyembahan tersebut dimaksudkan untuk mengarahkan perhatian manusia kepada satu tujuan penciptaan dan untuk mempercayai satu kekuatan yang paling efektif dari seluruh eksistensi dan sebagai tempat berlindung dan bergantung manusia sepanjang hayat dan sejarah.[11]
Sebagaimana dikatakan oleh seorang sufi besar, Farid al-Din al-Athar, “bila kau ingin sempurna, carilah kesemestaan, pilihlah kesemestaan, dan jadilah kesemestaan.”[12] Dalam pandangan dunia Tauhid, hakekat kesejatian manusia adalah potensi Ruh Allah yang telah ditupkan dalam diri manusia. Ruh Allah tersebut adalah “kesemestaan” sebagaimaana yang dimaksud oleh al-Athar. Ruh Allah adalah realitas paling sublim dan ultim dalam diri manusia yang menjadi modus bagi eksistensi manusia dalam kehidupannya.
Tauhid sebagai modus eksistensi manusia, digambarkan oleh Syari’ati dalam pembahasannya yang sangat romantik, reflektif, dan revolusioner tentang ibadah haji. Beliau mengatakan, ibadah haji menggambarkan “kepulangan” manusia kepada Allah yang Mutlak dan Tidak Terbatas, serta tidak ada yang menyerupaiNya. Perjalanan “pulang” kembali kepada Allah menunjukkan suatu gerakan yang pasti menuju kesempurnaan, kebaikan, kebenaran, keindahan, pengetahuan, kekuatan, nilai-nilai, dan fakta-fakta.[13]
Tauhid sebagai modus eksistensi bermakna, bahwa Allah adalah tempat asal dan tempat kembali manusia. dariNyalah seluruh atribut Ilahiyah yang dimiliki oleh manusia berasal. Berbeda dengan filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre, yang menganggap Tuhan sebagai sosok yang menghalangi kebebasan manusia. Syari’ati memandang, bahwa tuhan adalah sosok pembebas bagi manusia, dengan melakukan upaya pendekatan diri kepadaNya, maka manusia akan terbebas dari nilai-nilai lumpur busuk yang kotor dan melambangkan keadaan manusia yang dehumanis menuju Ruh Allah yang suci sebagai sumber seluruh nilai-nilai humanisme yang universal.
Pandangan dunia Tauhid menuntut manusia hanya takut pada satu kekuatan, yaitu kekuatan Tuhan, selain Dia adalah kekuatan yang tidak mutlak alias palsu. Tauhid menjamin kebebasan manusia dan memuliakan hanya semata kepadaNya. Pandangan ini menggerakkan manusia untuk melawan segala kekuatan dominasi, belenggu, dan kenistaan manusia atas manusia. Tauhid memiliki esensi sebagai gagasan yang bekerja untuk keadilan, solidaritas, dan pembebasan.[14] Implikasi logis dari pandangan dunia Tauhid adalah bahwa menerima kondisi masyarakat yang penuh kontradiksi dan diskriminasi sosial, serta menerima pengkotak-kotakan dalam masyarakat sebagai syirik. Dengan demikian, dalam pandangan Ali Syari’ati, masyarakat tanpa kelas adalah sebuah konsekuensi dari Tauhid.

A.   Falsafah Penciptaan Manusia dan Insan kamil: Dari Teosentris Hingga Teomorphis.
Manusia = Ruh Allah + lempung busuk (Ali Syari’ati)[15]

Ali Syari’ati memulai pembahasannya tentang manusia dimulai dari filsafat penciptaan Adam. Dalam pandangan Syari’ati, Adam adalah simbol representatif dari manusia secara keseluruhan. Dalam menafsirkan penciptaan Adam, Syari’ati membahas kejadian Adam yang diciptakan dari Ruh Allah dan lumpur busuk. Kedua term tersebut dimaknai secara simbolik, Lumpur busuk bermakna kerendahan, stagnasi, dan pasivitas mutlak. Sedangkan Ruh Allah adalah simbol dari gerakan tanpa henti menuju kesempurnaan dan kemuliaan yang tidak terbatas.[16]
Manusia adalah sintesa dari kedua hal tersebut, dan kedua hal tersebut (lumpur busuk dan Ruh Allah)) senantiasa tarik menarik dan akhirnya akan memaksa manusia untuk memilih salah satunya.[17] Pada masa awal penciptaannya manusia berada pada titik netral, dan seiring dengan perjalanan hidupnya manusia melakukan gerak evolusi, baik evolusi progresif menuju Ruh Allah maupun evolusi regresif menuju lumpur busuk. Jika manusia melakukan evolusi progresif maka manusia akan tiba pada kemuliaan dan kesempurnaannya yang hakiki (“bersatu denganNya”). Sedangkan jika yang terjadi adalah evolusi regresif maka manusia jatuh derajatnya dan hanya setara dengan lumpur busuk, yang dalam bahasa Alquran disebut lebih jelek dari binatang ternak.
Setelah Tuhan menciptakan Adam, kemudian Tuhan mengajarkan kepada Adam pengetahuan tentang “nama-nama” segala sesuatu. Jadi dalam penciptaan manusia, Tuhan adalah pencipta sekaligus sebagai guru pertama bagi manusia. Dan selanjutnya, manusia kemudian tampil sebagai pemberi nama bagi dunianya. Karena “perlakuan” Tuhan yang begitu istimewa kepada manusia, malaikat pun protes kepada tuhan, karena Tuhan telah mengistimewakan manusia. Menanggapi protes malaikat tersebut, Tuhan pun kemudian meminta Adam untuk mendemonstrasikan kemampuannya di hadapan para malaikat, lalu Tuhan menyuruh malaikat untuk sujud kepada Adam. Syari’ati menyatakan, sujudnya malaikat kepada Adam adalah perlambang dari humanisme. Derajat manusia diangkat sedemikian rupa setingkat lebih tinggi dari para malaikat suci. Ketinggian derajat manusia atas malaikat bukanlah karena rasialisme, melainkan karena manusia memiliki pengetahuan.[18]
Satu hal yang menarik dalam falsafah penciptaan manusia menurut Syari’ati, yaitu hanya manusia sajalah yang diberikan amanah oleh Tuhan untuk mengemban tugas sebagai khalifahNya. Oleh karena manusia memiliki kemampuan dan keyakinan untuk mengemban tugas berat tersebut. Maka terbuktilah bahwa manusia dianugerahi oleh Tuhan keberanian, keutamaan, kearifan dan kebijakan di alam semesta. Manusia bukan hanya sekedar sebagai khalifahNya, melainkan juga pengemban amanahNya, dan penjaga karuniaNya yang paling berharga. Beliau mengutip pernyataan Jalal al-Din al-Rumi, bahwa amanat dan karunia Tuhan itu adalah kehendak bebas.[19]
Syari’ati membagi manusia ke dalam dua kategori, yaitu insan dan basyar. Basyar adalah keberadaan manusia dalam tahap makhluk yang biasa (being), yang tak memiliki kemampuan berubah sebagaimana makhluk Tuhan yang lain. Basyar dalam istilah Alquran memiliki kesamaan arti dengan istilah l’etre en soi atau being in self  (ada dalam diri) dalam filsafat eksistensialisme Jean Paul Sartre. Bering in self  adalah modus keberadaan manusia yang statis, pasif, netral (tidak afirmatif dan tidak juga negatif), dan tanpa tujuan.[20] L’etre en soi sebagaimana basyar adalah keberadaan manusia sebagai “seonggok” benda yang tak memiliki kesadaran dan kehendak bebas. Sedangkan insan adalah manusia dalam artian “menjadi” (becoming). Atau dengan kata lain insan adalah keberadaan manusia yang telah diberikan daya oleh kekuatan Ruh Ilahi, sehingga mampu bergerak dinamis. Konsep insan dalam pemikiran Syari’ati identik dengan konsep l’etre pour soi atau being for self (ada untuk diri). L’etre pour soi adalah modus keberadaan manusia yang berbeda dengan l’etre en soi. L’etre pour soi adalah modus keberadaan manusia yang memiliki kesadaran akan diri dan realitas disekitarnya dan kehendak bebas dalam menentukan pilihannya, sehingga manusia dapat melakukan gerak aktif dan dinamis sebagai makhluk yang “menjadi”. Pembagian Syari’ati terhadap dua kategori keberadaan manusia ini sangat mungkin diinspirasi oleh pemikiran eksistensialisme Jean paul Sartre. Namun, berbeda dengan Sartre, Ali Syari’ati gerak kemenjadian manusia memiliki tujuan yang jelas yaitu Allah sebagai sentrum dan modus eksistensi. Ali Syari’ati mengkritik Sartre dengan menyatakan moral eksistensialismenya dan konsekuensi-konsekuensinya yang menggelikan.[21]
Menurut Ali Syari’ati, manusia sempurna atau manusia ideal adalah khalifah Tuhan yang menerima amanah Tuhan berupa kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas yang mewujud dalam diri manusia sebagai makhluk dua dimensi. Dengan adanya pertarungan dua unsur dalam diri manusia  (Ruh Allah dan lumpur busuk) memungkinkan manusia untuk berproses menjadi manusia ideal (insan kamil). Karena dengan adanya potensi kesadaran, kehendak bebas, dan kreatifitas yang dimiliki manusia, memungkinkan bagi manusia untuk melakukan pertarungan “di dalam dirinya sendiri”, dan berakhir dengan kemampuan manusia untuk memenangkan dimensi Ruh Allah atas unsur lumpur busuk, dengan berakhlak sebagaimana akhlak Allah.[22]
Manusia ideal adalah manusia theomorphis,[23] yaitu manusia yang dalam pribadinya, ruh Allah telah memenangkan pertarungan atas belahan dirinya yang berkaitan dengan lumpur busuk, sebagai representasi Iblis. Manusia ideal, adalah manusia yang telah terbebas dari kebimbangan dan kontradiksi dari “dua infinita”.[24] Menurut Syari’ati manusia ideal, memiliki tiga ciri utama, yaitu kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Dengan kata lain manusia ideal adalah manusia yang mampu memadukan secara integral pengetahuan, akhlak, dan seni dalam dirinya. Ia adalah khalifah Allah yang komitmen terhadap tiga anugerah Allah kepadanya, yaitu kesadaran diri, kehendak bebas, dan kreatifitas. Manusia ideal adalah khalifah Allah yang telah menempuh jalan penghambaan yang sukar sembari memikul beban amanah, hingga ia sampai ke ujung batas dan menjadi khalifah dan “pemegang amanahNya”.[25] Manusia theomorphis adalah manusia yang berakhlak sebagaimana akhlak Allah.
Manusia menjadi ideal bukan karena menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan seraya mengesampingkan urusan kemanusiaan, dan bukan pula manusia yang menafikan Tuhan dalam gerak kehidupannya. Manusia menjadi sempurna, justru karena terlihat dalam perjuangan kesempurnaan umat manusia secara menyeluruh.[26] Menurut Syari’ati, manusia menjadi ideal adalah dengan menemukan dan memperjuangkan umat manusia, dan dengannya ia akan “menemukan” Tuhan. Dengan kata lain manusia ideal adalah manusia yang tidak meninggalkan alam dan sesama manusia,[27] sembari di saat yang sama ia terus melakukan “hubungan mesra” dengan Tuhan sebagai kekasihnya.
Syari’ati dengan sangat puitis mendeskripsikan mausia ideal tersebut sebagai manusia yang akalnya senantiasa berpikir filosofis, tapi hal ini tidak lantas membuatnya terlena atas nasib umat manusia. Keterlibatan politik tidak membuatnya demagog dan riya. Ilmu tidak membuat keyakinan dan cita-citanya menjadi luntur. Sedangkan keyakinannya tidak menumpulkan akalnya dan menghalangi deduksi logisnya. Kesalehan tidak membuatnya menjadi pertapa yang tak berdaya (asketik). Aktivitas sosial tidak membuat tangannya ternoda oleh immortalitas. Manusia ideal adalah manusia jihad dan ijtihad, manusia syair dan pedang, manusia kesepian dan komitmen. Emosi dan genius, kekuasaan dan cinta kasih, keyakinan dan pengetahuan. Dia adalah manusia yang menyatukan semua dimensi kemanusiaan sejati.[28] Penggambaran Ali Syari’ati tersebut tentang sosok mansuia ideal nyaris mustahil ditemukan dalam realitas kemanusiaan saat ini yang penuh dengan kepalsuan. Tapi, jika kita kembali pada tujuan sejati penciptaan manusia maka kita akan meyakini secara pasti, disetiap masa pasti ada satu manusia yang dengan kesungguhannya berhasil meraih derajat mulia tersebut.

B.   Khatimah
Ali Syari’ati adalah sosok yang berhasil melakukan transformasi Tauhid, hingga Tauhid menjadi pandangan yang dapat benar-benar hidup dan menyentuh realitas.

Ali Syari’ati memahami agama bukan sebagai kumpulan doktrin yang lebih berdimensi ritual saja. Menurutnya, agama adalah sumber lahirnya kesadaran (awareness), landasan etik (morality), tanggungjawab (responsibility) dan kehendak bebas (free will) yang mampu menggerakkan pemeluknya menjadi kekuatan pembebas dari determinasi ideologi-ideologi multitheism yang menindas. Bagi Ali Syari’ati Tauhid tak sekedar teologi yang diperbincangkan pada ranah keilmuan dan filsafat, tapi Tauhid adalah ideologi paripurna tentang integralisme kehidupan dari yang Satu, dalam kesatuan, menuju Yang Satu.
Bagi Syari’ati, Tauhid dimulai dari pemahaman yang ilmiah, filosofis, dan analitis tentang Tuhan menuju pada pembebasan kemanusiaan universal dari berhala diri dan berhala sosial. Tauhid adalah fondasi ideologi pembebasan yang menegasi segala bentuk diskriminasi menuju pada egalitarianisme (persamaan) manusia..Tauhid adalah spirit perlawanan atas kezaliman dan penindasan berdasar pada nilai-nilai keadilan. Dalam pandangan Ali Syari’ati, Tahid adalah pembebasan (liberasi), persamaan (egalitarianisne), dan keadilan (justice) universal.
Dalam pandangan Ali Syari’ati Tauhid adalah ephisentrum kehidupan dan modus eksistensi. Tauhid meniscayakan pandangan dunia yang teosentrik dengan orientasi menuntun manusia dalam gerak evolusi eksistensial menjadi manusia teomorphis, manusia yang mengatribusi sifat-sifat Ketuhanan. Manusia theomorphis, manusia yang kesadarannya menjulang tinggi ke langit, tapi baktinya menoreh aktivisme di bumi. Cita manusia ideal yang tampil sebagai pembebas.

Jadilah manusia agung
Bagai seorang syahid
Seorang imam
Bangkit
Berdiri
Di antara rubah, srigala,
Tikus
Domba
Di antara nol-nol
Bagai Yang Satu

(Ali Syari’ati dalam puisi “Satu yang Diikuti Nol-nol yang Tiada Habis-habisnya”)



[1]Ali Syari’ati, on the Sosicology Islam, Diterjemahkan oleh Saifullah Mahyuddin dengan Judul Paradigma Kaum Tertindas, (Cet, II; Jakarta: al-huda, 2001), h. 76.
[2]Ibid., h. 73.
[3]Eko Supriyadi, op. cit., h. 167.
[4] Muhammad Nafis, “Dari Cengkeraman Penjara Ego Menuju Revolusi: Memahami ‘Kemelut’ Tokoh Pemberontak”, dalam M. Deden Ridwan (ed), op, cit., h. 85.
[5]Lihat Eko Supriyadi, op. cit.., h 163-164
[6] Muhammad Nafis, op. cit., h. 87.
[7] Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, (Cet, I; Jakarta: Pustaka Jaya, 1992), h. 134.
[8] Ibid., h. 138.
[9]Lihat Donny Gahrial Adian, Arus Pemikiran Kontemporer (Cet. I ; Yogyakarta : Jalasutra, 1999), h. 7.
[10]Muhammad Zuhri, Langit-langit Desa : Himpunan Hikmah dari Langit-langit Sekarjalak (Cet. I ; Bandung : Mizan, 1993), h. 34.
[11]Lihat Ali Syari’ati, Religion Versus “Religion”, diterjemahkan oleh Afif Muhammad dan Abdul Syukur dengan Judul Agama Versus “Agama” (Cet. VII ; Jakarta : Pustaka Hidayah, 2000), h. 29.
[12]Eko Prasetyo Darmawan, Agama Bukan Candu (Cet. I ; Yogyakarta : Resist Book, 2005), h. 31.
[13]Ali Syari’ati, Hajj, op. cit.,  h. 21.
[14]Eko Supriyadi, op. cit., h. 166.
[15]Ali Syari’ati, On the Sociology Islam, op. cit., , h. 79.
[16]Ibid.
[17] Ekky Malakky, op, cit., h. 82
[18] Ibid..
[19]Ali Syari’ati, Man and Islam, op. cit., h. 8
[20] Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme, (Cet, I; Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 100.
[21]Ali Syari’ati mengkritik pandangan Jean Paul Sartre tersebut dalam puisinya; “Kau akan berputar dan berputar terus dalam lingkaran/kau akan beku/bagai sebuah laguna, bagai sebuah kolam/kau akan menetap bagai sebuah lingkaran/bagai nol. Lihat Ahmad Nurullah, “Genesis: dari Dentuman Besar ke Revolusi (Tinjauan filosofis tentang Puisi Ali Syari’ati)”, dalam M. Deden Ridwan, op. cit., h. 228.
[22] Ekky Malakky, op, cit., h. 115.
[23]Istilah manusia theomorphis pada dasarnya bukanlah istilah dari Ali Syari’ati sendiri, melainkan istilah ini pertama kali di gunakan oleh pemikir muslim asal anak benua India, yaitu Muhammad Iqbal.
[24] Ali Syari’ati, On the Sociology Islam, op, cit., h. 108.
[25] Ibid., h. 110.
[26] Hal ini senada dengan pernyataan Muhammad Iqbal, bahwa “manusia sempurna bukanlah manusia yang memproyeksi Tuhan sebagaimana yang dikatakan oleh Feurbach, dan bukan pula manusia yang “lenyap” dalam “diri Tuhan” sebagaimana kaum panteis., manusia sempurna adalah manusia yang menyerap sifat-sifat Tuhan dan menjadikannya sebagai elan vital bagi kekuatan yang mengubah dunia. Lihat Donny Gahrial Adian, op, cit., h. 18.
[27] Ekky Malakky, op, cit., h. 116.
[28] Ali Syari’ati, On the Sociology Islam, op, cit., h. 109

0 comments:

Post a Comment

PARA GITTE SIPAKAINGA SIPASSIRIKI LINO AHERA'