Halik Abidin |
Tak
ada yang dapat aku lakukan untuk kebaikan
Selain
menghembuskan kebaikan itu sendiri
Maka
biarlah aku menjadi angin
Agar
baramu tak memadam
(Halik
Abidin....)
Generasi
ibarat bara api, ketika bara itu didiamkan pada kondisi dimana bara itu
sendiri, maka perlahan-lahan dia akan mulai meredup lalu mati dan pada akhirnya
menjadi arang dan abu. Oleh karena itu harus senantiasa dihembuskan angin
kepadanya agar bara itu senantiasa membara bahkan menyalah membakar semangat
hidup untuk melakukan perubahan sebagai manifestasi dalam eksistensinya sebagai
agen of change, moral of force dan reformer agen demi mewujudkan cita-cita Ali
Syariati “Rausyan Fikr” ditengah persimpangan senja kala Good Governance dan
Good Soceity.
Maka
dari itu generasi dipandang perlu melakukan refleksi kritis pada diri sendiri
yaitu dengan melakukan satu gerakan revolusi intelektual, sebagaimana
semboyang pergerakan aktifis “bangkit melawan atau tertindas”. Maka
sesungguhnya penindasan yang paling pertama yang harus dilawan adalah
penindasan terhadap diri sendiri. Disadari atau tidak dalam kehidupan
sehari-hari banyak diantara kita yang senantiasa melakukan penindasan terhadap
diri sendiri baik yang disenggaja maupun yang tidak disenggaja, sebagai contoh
paling sederhana seorang Mahasiswa tidak memberikan hak-hak subtantif pada
dirinya sebagai Mahasiswa seperti hak akan buku, membaca maupun menulis.
Revolusi
sebagai bentuk perubahan cepat dalam sendi kehidupan tentu membutuhkan banyak
pengorbanan baik pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, materi bahkan ketika
dibutuhkan jiwa dan ragapun akan menjadi taruhannya. Mari kita melihat revolusi
yang terjadi di Negara Timur Tengah betapa banyak masyarakat disana yang dengan
relah hati mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, materi bahkan jiwa raganya di
setapak jalan-jalan revolusi demi satu perbaikan tatanan kehidupan dan akhirnya
berhasil menumbangkan rezim Pemimpin yang sebelumnya dicintai antara lain
Husni Mubarak dan Muammar Qadafi.
Begitupula
semestinya dengan revolusi intelektual pengorbanan adalah sebuah keniscayaan
didalamnya, berkorban diwaktu senggang untuk membaca, berkorban dikala lelahnya
tenaga untuk membaca, berkorban ditengah suntuknya pikiran untuk menuangkan
inspirasi melalui tulisan, berkorban disaat paceklitnya keuangan untuk membeli
buku dan pada akhirnya mengorbankan kesehatan raga untuk keseluruhan rekayasa
intelektual tersebut. Itulah Mahasiswa yang gila karena disaat manusia terlelap
tidurnya dia mala terjaga dari mimpinya dan mimpinyapun adalah mimpi membaca
dan menulis.
Eropa
menjadi benua terbesar dengan negara-negara yang sangat maju bukanlah hasil
dari suatu rekonstruksi struktural secara besar-besaran melainkan gerakan
kultural lewat sejarah renaisans Eropa yang dipelopori oleh Petrarch (1304-74)
sebagai fajar periode baru pada abad keempat belas saat manusia menerobos
kegelapan menuju gerak kembali kepada cahaya murni dan asli. Petrarch
melukiskan cintanya terhadap buku sebagai nafsu yang tidak dapat dikendalikan
meskipun dapat dikendalikan Dia tidak akan pernah melakukan katanya. Bahasa ini
memberikan kita petunjuk akan pentingnya membangkitkan hasrat dan perasaan gelisah
dalam diri, hasrat dalam hal ini dimaksudkan pada keinginan yang tidak
terpuaskan untuk memiliki buku-buku yang bermanfaat dalam pengembangan
kapasitas intelektual sedangkan gelisah lebih dimaksudkan pada ketidak tenangan
ketika dalam keseharian tidak meluangkan waktu untuk membaca buku.
Jauh
berbeda dengan realitas kekinian yang melanda generasi di tanah air Indonesia karena
para insan akademik tidaklah dilanda akan kelaparan dan dahaga yang sangat
terhadap buku-buku, hal ini didasarkan atas penelitian terhadap sejumlah
Mahasiswa di Makassar (Multi Kampus) sementara ide dibalik buku adalah sumber
inspirasi bagi ide selanjutnya namun bukanlah berarti ketergantungan ide atas
realitas. Bahkan ketika ditelusuri mereka lebih senang memperbanyak pakaian, make up, beli pulsa dan hal lain yang
lebih bersifat cerimonial ketimbang hal yang bersifat subtantif. Pertanyaan
kemudian yang harus dijawab bagaimana cara melakukan perubahan sosial
sebagaimana yang selalu diteriakkan oleh Mahasiswa ketika tidak ada gerakan
intelektual didalamnya dan bagaimana cara mendorong gerakan intelektual itu
ketika tidak ada tradisi intelektual didalamnya bukankah perubahan sosial hanya
bisa dilakukan oleh orang-orang yang tercerahkan dan bukankah orang yang
tercerahkan adalah meraka yang memiliki tradisi intelektual.
Harus
diakui, generasi Indonesia adalah generasi yang sangat kritis namun hal tersebut
belum mampu dipersentuhkan dengan eksistensinya oleh karena adanya
kecenderungan untuk mempolarisasi diri kedalam lingkungan sosial yang sarat
dengan bauh haedonisme, suatu bentuk pergaulan yang lebih mengutamakan dan
mengedepankan kesenangan sebagai buah pergaulan yang hura-hura. Antonio Gramsci
membagi tipe intelektual kedalam 4 tipelogi :
1. Intelektual Tradisional yaitu
kelompok intelektual yang menyebarkan ide dan berfungsi sebagai mediator antara
rakyat dengan kelas diatasnya.
2. Intelektual organik yaitu kelompok
intelektual dengan badan penelitian dan studinya yang berusaha memberi refleksi
atas keadaan namun terbatas untuk kepentingan kelompok sendiri.
3. Intelektual kritis yaitu intelektual
yang mampu melepaskan diri dari hegemoni penguasa elit kuasa yang sedang
memerintah dan mampu memberikan pendidikan alternatif untuk proses pemerdekaan.
4. Intelektual universal yaitu
intelektual yang berusaha memperjuangkan proses peradaban dan struktur budaya
manusia.
Andir
Hakim dalam bukunya Dasyatnya Alam Bawah Sadar mengatakan “ketika engkau dapat menata pikiranmu, maka pikiran itu yang akan
menjadi kata-katamu dan jika engkau dapat menjaga kata-katamu maka kata-kata
itu yang akan menjadi tindakanmu dan jika engkau mampu memelihara tindakanmu
maka tindakanmu itu akan menjadi kebiasaanmu dan alangkah luar biasanya karena
kebiasaan itulah yang akan merubah hidupmu. sebagaimana Descartes
mengatakan “Aku ada karena aku berpikir” (Cogito ergo sum) dengan “cogito”
manusia akan mampu menyadari kesadaran diluar dirinya dan dengan kesadarannya
dia akan mampu memahami kenyataan diluar dirinya sehingga dia tidak akan pernah
tertipu dengan siapapun juga meskipun harus ditipu oleh Tuhan andaikan Tuhan
itu penipuRealitas dalam pandangan Pip Jones tidaklah bersifat faktual,
objektif dan tegas, realitas hanya akan menunjukkan dirinya ketika dipikirkan
melalui interaksi sosial, apa yang dipikir oleh meraka yang terlibat dalam interaksi
sosial itu pula yang menentukan langkah dan tindakan yang akan diambil. Gerakan
kolektifitas melalui beli buku kolektif, baca buku kolektif dan menulis
kolektif adalah tradisi Revolusi Intelektual yang harus
senantiasa dibudayakan dalam jiwa dan benak insan akademisi.
Perubahan
harus bergerak secara horizontal-vertikal dari dalam keluar dan dari yang kecil
ke yang besar dan tentu melalui gerakan Revolusi Intelektual cita-cita masyarakat Literasi akan membumi khususnya
di tanah KOSKAR PPB. Knowledge is power, pengetahuan adalah kekuatan, kekuatan
untuk menundukkan alam semesta, pengetahuan adalah kekuasaan.
1 comments:
Tulisan ini sangat layak untuk dilanjutkan dan dijadikan sebagai tulisan yang memberi inspirasi dan motivasi untuk lebih menunjukkan kualitas keilmuan kita semua bahwa kita semua bisa hanya kadang kita jarang memulai untuk melanjutkan... !! Afwan jika koment saya agak ngawur... hehehehe..
Post a Comment
PARA GITTE SIPAKAINGA SIPASSIRIKI LINO AHERA'