Friday, July 6, 2012

REVOLUSI INTELEKTUAL

1 comments

Halik Abidin

Tak ada yang dapat aku lakukan untuk kebaikan
Selain menghembuskan kebaikan itu sendiri
Maka biarlah aku menjadi angin
Agar baramu tak memadam
(Halik Abidin....)
Generasi ibarat bara api, ketika bara itu didiamkan pada kondisi dimana bara itu sendiri, maka perlahan-lahan dia akan mulai meredup lalu mati dan pada akhirnya menjadi arang dan abu. Oleh karena itu harus senantiasa dihembuskan angin kepadanya agar bara itu senantiasa membara bahkan menyalah membakar semangat hidup untuk melakukan perubahan sebagai manifestasi dalam eksistensinya sebagai agen of change, moral of force dan reformer agen demi mewujudkan cita-cita Ali Syariati “Rausyan Fikr” ditengah persimpangan senja kala Good Governance dan Good Soceity.
                Maka dari itu generasi dipandang perlu melakukan refleksi kritis pada diri sendiri yaitu dengan melakukan satu gerakan revolusi intelektual, sebagaimana semboyang pergerakan aktifis “bangkit melawan atau tertindas”. Maka sesungguhnya penindasan yang paling pertama yang harus dilawan adalah penindasan terhadap diri sendiri. Disadari atau tidak dalam kehidupan sehari-hari banyak diantara kita yang senantiasa melakukan penindasan terhadap diri sendiri baik yang disenggaja maupun yang tidak disenggaja, sebagai contoh paling sederhana seorang Mahasiswa tidak memberikan hak-hak subtantif pada dirinya sebagai Mahasiswa seperti hak akan buku, membaca maupun menulis.
                Revolusi sebagai bentuk perubahan cepat dalam sendi kehidupan tentu membutuhkan banyak pengorbanan baik pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, materi bahkan ketika dibutuhkan jiwa dan ragapun akan menjadi taruhannya. Mari kita melihat revolusi yang terjadi di Negara Timur Tengah betapa banyak masyarakat disana yang dengan relah hati mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, materi bahkan jiwa raganya di setapak jalan-jalan revolusi demi satu perbaikan tatanan kehidupan dan akhirnya berhasil menumbangkan rezim Pemimpin yang sebelumnya dicintai antara lain Husni Mubarak dan Muammar Qadafi.
                Begitupula semestinya dengan revolusi intelektual pengorbanan adalah sebuah keniscayaan didalamnya, berkorban diwaktu senggang untuk membaca, berkorban dikala lelahnya tenaga untuk membaca, berkorban ditengah suntuknya pikiran untuk menuangkan inspirasi melalui tulisan, berkorban disaat paceklitnya keuangan untuk membeli buku dan pada akhirnya mengorbankan kesehatan raga untuk keseluruhan rekayasa intelektual tersebut. Itulah Mahasiswa yang gila karena disaat manusia terlelap tidurnya dia mala terjaga dari mimpinya dan mimpinyapun adalah mimpi membaca dan menulis.   
                Eropa menjadi benua terbesar dengan negara-negara yang sangat maju bukanlah hasil dari suatu rekonstruksi struktural secara besar-besaran melainkan gerakan kultural lewat sejarah renaisans Eropa yang dipelopori oleh Petrarch (1304-74) sebagai fajar periode baru pada abad keempat belas saat manusia menerobos kegelapan menuju gerak kembali kepada cahaya murni dan asli. Petrarch melukiskan cintanya terhadap buku sebagai nafsu yang tidak dapat dikendalikan meskipun dapat dikendalikan Dia tidak akan pernah melakukan katanya. Bahasa ini memberikan kita petunjuk akan pentingnya membangkitkan hasrat dan perasaan gelisah dalam diri, hasrat dalam hal ini dimaksudkan pada keinginan yang tidak terpuaskan untuk memiliki buku-buku yang bermanfaat dalam pengembangan kapasitas intelektual sedangkan gelisah lebih dimaksudkan pada ketidak tenangan ketika dalam keseharian tidak meluangkan waktu untuk membaca buku.
                Jauh berbeda dengan realitas kekinian yang melanda generasi di tanah air Indonesia karena para insan akademik tidaklah dilanda akan kelaparan dan dahaga yang sangat terhadap buku-buku, hal ini didasarkan atas penelitian terhadap sejumlah Mahasiswa di Makassar (Multi Kampus) sementara ide dibalik buku adalah sumber inspirasi bagi ide selanjutnya namun bukanlah berarti ketergantungan ide atas realitas. Bahkan ketika ditelusuri mereka lebih senang memperbanyak  pakaian, make up, beli pulsa dan hal lain yang lebih bersifat cerimonial ketimbang hal yang bersifat subtantif. Pertanyaan kemudian yang harus dijawab bagaimana cara melakukan perubahan sosial sebagaimana yang selalu diteriakkan oleh Mahasiswa ketika tidak ada gerakan intelektual didalamnya dan bagaimana cara mendorong gerakan intelektual itu ketika tidak ada tradisi intelektual didalamnya bukankah perubahan sosial hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang tercerahkan dan bukankah orang yang tercerahkan adalah meraka yang memiliki tradisi intelektual.
                Harus diakui, generasi Indonesia adalah generasi yang sangat kritis namun hal tersebut belum mampu dipersentuhkan dengan eksistensinya oleh karena adanya kecenderungan untuk mempolarisasi diri kedalam lingkungan sosial yang sarat dengan bauh haedonisme, suatu bentuk pergaulan yang lebih mengutamakan dan mengedepankan kesenangan sebagai buah pergaulan yang hura-hura. Antonio Gramsci membagi tipe intelektual kedalam 4 tipelogi :
1.            Intelektual Tradisional yaitu kelompok intelektual yang menyebarkan ide dan berfungsi sebagai mediator antara rakyat dengan kelas diatasnya.
2.            Intelektual organik yaitu kelompok intelektual dengan badan penelitian dan studinya yang berusaha memberi refleksi atas keadaan namun terbatas untuk kepentingan kelompok sendiri.
3.            Intelektual kritis yaitu intelektual yang mampu melepaskan diri dari hegemoni penguasa elit kuasa yang sedang memerintah dan mampu memberikan pendidikan alternatif untuk proses pemerdekaan.
4.            Intelektual universal yaitu intelektual yang berusaha memperjuangkan proses peradaban dan struktur budaya manusia.               
                Andir Hakim dalam bukunya Dasyatnya Alam Bawah Sadar mengatakan “ketika engkau dapat menata pikiranmu, maka pikiran itu yang akan menjadi kata-katamu dan jika engkau dapat menjaga kata-katamu maka kata-kata itu yang akan menjadi tindakanmu dan jika engkau mampu memelihara tindakanmu maka tindakanmu itu akan menjadi kebiasaanmu dan alangkah luar biasanya karena kebiasaan itulah yang akan merubah hidupmu. sebagaimana Descartes mengatakan “Aku ada karena aku berpikir” (Cogito ergo sum) dengan “cogito” manusia akan mampu menyadari kesadaran diluar dirinya dan dengan kesadarannya dia akan mampu memahami kenyataan diluar dirinya sehingga dia tidak akan pernah tertipu dengan siapapun juga meskipun harus ditipu oleh Tuhan andaikan Tuhan itu penipuRealitas dalam pandangan Pip Jones tidaklah bersifat faktual, objektif dan tegas, realitas hanya akan menunjukkan dirinya ketika dipikirkan melalui interaksi sosial, apa yang dipikir oleh meraka yang terlibat dalam interaksi sosial itu pula yang menentukan langkah dan tindakan yang akan diambil. Gerakan kolektifitas melalui beli buku kolektif, baca buku kolektif dan menulis kolektif adalah tradisi Revolusi Intelektual yang harus senantiasa dibudayakan dalam jiwa dan benak insan akademisi.
                Perubahan harus bergerak secara horizontal-vertikal dari dalam keluar dan dari yang kecil ke yang besar dan tentu melalui gerakan Revolusi Intelektual  cita-cita masyarakat Literasi akan membumi khususnya di tanah KOSKAR PPB. Knowledge is power, pengetahuan adalah kekuatan, kekuatan untuk menundukkan alam semesta, pengetahuan adalah kekuasaan.

1 comments:

Anonymous said...

Tulisan ini sangat layak untuk dilanjutkan dan dijadikan sebagai tulisan yang memberi inspirasi dan motivasi untuk lebih menunjukkan kualitas keilmuan kita semua bahwa kita semua bisa hanya kadang kita jarang memulai untuk melanjutkan... !! Afwan jika koment saya agak ngawur... hehehehe..

Post a Comment

PARA GITTE SIPAKAINGA SIPASSIRIKI LINO AHERA'