Pagi begitu cerah ketika aku terbangun dari
tidurku, hari ini aku terlambat bangun tidur gara-gara semalam ikut nonton film
horor di rumah tetangga atau tepatnya dirumah
Omku hingga dinihari. Jam 04.45 dinihari filmnya baru usai, akhirnya aku sholat
subuh dulu lalu star untuk melanjutkan tidurku yang sempat tertunda tadi malam.
Bangun terlalu pagi yang menurutku
hampir kesiangan adalah salah satu kebiasaan kurang baik bagi pemuda sepertiku
( akh...boro-boro jadi pemuda, memasuki remaja awal maksudku ). Waktu itu
masyarakat di kampungku sedang sibuk-sibuknya memetik atau memanen hasil bumi
mereka masing-masing. Masyarakat di kampungku adalah mayoritas petani kopi
tumpang sari, yah..aku sebut demikian, karena petani di kampungku nyaris
menanam segala jenis tumbuhan penyandang dalam satu lahan, sehingga tanaman
banyak yang kerdil atau malah ogah memberikan hasil. Sosialisasi pemerintah
saat itu pun belum mampu menyentuh pelosok desaku dan kalaupun ada, masyarakat
belum tentu tertarik untuk mengikuti kegiatan tersebut dan kalaupun ikut belum
tentu menyerap sajian materi sosialisasi ilmu pertanian yang di sampaikan.
Begitulah kira-kira pemahamanku tentang masyarakat di kampungku yang begitu
awam dalam memahami ilmu pengetahuan.
Hari itu, akupun telah genap berumur
17th versi Pak Hanafi, di tahun 2003-2004 waktu itu. Umurku memang memiliki dua
versi, Ibuku mengatakan jika umurku saat itu 15 tahun terhitung sejak
1989-4-April, dan aku anggap itulah yang akurat. Tapi versi Pak Hanafi lain
lagi, sejak aku mendaftarkan diri di sekolah dasar 59 Labbo ( SD 59 ), maka
usaiku pun bertambah dua tahun lebih tua dari sebelumnya, alasannya cukup
klasik, usaiku belum genap untuk bersekolah dan harus menunggu dua tahun lagi.
Akhirnya karena aku tetap ngotot untuk bersekolah, maka Pak Hanafi yang waktu
itu adalah kepala sekolah memberi solusi agar umurku di tambah dua tahun saja
dari 04-April 1989 menjadi 05 Juni 1987, dan akupun berkata “Terserah bapak
sajalah”. Pikiranku waktu aku itu adalah sekolah & sekolah meski umurku harus
di tambah dua tahun lebih tua. Setelah urusan administrasi selesai semua
resmilah aku menjadi siswa atau pelajar di SD 59 Labbo.
Tak terasa waktu merambat demikian
cepatnya, masa-masa SD telah lama aku tinggalkan dan tak banyak pula yang bisa
aku ceritakan tentang masa-masa tersebut. Kini genap sudah tiga bulan aku tamat
sekolah di Madrasah Tsanawiyah ( MTs. ) di Pattiro yang menurutku menyimpan
kenangan yang begitu banyak, baik suka maupun duka.
Setamat sekolah, setelah ujian akhir
Sekolah dan ujian akhir Nasional usai, akupun langsung menuju Makassar bersama
sepupuku dengan harapan mengais rejeki dengan menjadi buruh kasar di beberapa
proyek bangunan milik orang-orang kulit kuning ( Baca; CHINA ), waktu itu. Ini adalah kali kedua aku ke Makassar setelah dulu
hanya dua minggu berada di Makassar, waktu itu aku masih duduk di kelas dua
MTs, dan kali ini aku dua bulan lamanya setelah hampir satu minggu aku belum
dapat pekerjaan. Akh.....sungguh kasihan aku waktu itu.
Beberapa bulan kemudian, setelah
kembali dari Makassar paradigmaku tentang hidup berubah drastis, selain tubuhku
bertambah agak besar karena waktu di Makassar aku berlangganan dua penjual
bakso. Sehingga hampir dua bulan penuh aku bisa makan bakso sampai tiga kali
sehari semalam, sebuah kebiasaan yang sangat kontras dengan aku dua bulan yang
lalu. Pandangan dan harapanku tentang hidup waktu itupun berubah sampai 80
derajat kebawah titik nadir akal sehat, aku anggap hidup hanya akan lebih
bahagia, lebih dihargai, dihormati hanya jika kita punya banyak duit dan akupun
bertekad dalam hati untuk mencari uang sebanyak-banyaknya tak peduli tanganku
membesar dan melepuh asalkan aku dapat duit, pikirku dalam bathin.
Setelah aku pikir matang-matang
dengan pertimbangan akalku sendiri, akhirnya akupun berkesimpulan, aku tak mau
melanjutkan pendidikanku lagi, aku pikir tamat MTs, sudah cukup untukku,
lagipula aku sudah mulai tidak berminat dengan yang namanya belajar, sungguh
!!! pikiran yang sangat konyol.
Penerimaan siswa-siswi baru di
Madrasah Aliyah Pattiro ( MA. ) sudah berlangsung dua bulan, acara ta’aruf
dengan sesama siswa ( i ) mulai hangat dan akrab, baik antara senior maupun
junior. Musdalifah, Usman dan beberapa sahabat-sahabatku di MTs dulu, mulai
mempertanyakan keberadaanku, apakah aku masih lanjut sekolah atau tidak??.
Sebuah pertanyaan yang tidak perlu aku jawab, karena teman-temanku sudah sangat
hapal jawabannya, dengan hanya melihat kondisiku dan kondisi keluargaku yang
termasuk jajaran kaum “Dhu’afa” kaum proletar ekonomi, miskin harta yang hanya
bisa tetap bertahan hidup jika tetap menjadi buruh kasar di beberapa proyek
yang membutuhkan tenaga. Tapi, kami sekeluarga meskipun bukanlah termasuk
keluarga yang sok relijius, tetap mengedepankan ajaran agama bahwa biarlah
tubuh tersiksa mencari rejeki asalkan rejeki tersebut halal dan baik, demikian
kata-kata pak Ustas tempo hari saat berkhutbah jum’at.
Selang waktu berjalan, pikiranku pun
semakin menyusut dan berjalan lamban, keinginanku untuk tidak bersekolah sudah
aku sampaikan kepada Ibuku dan Ibuku menanggapinya dingin dengan seulas senyum
penuh tanda tanya atau mungkin juga kasihan melihat kondisiku, lalu beliau
berkata “ terus kamu mau jadi apa?” tanya Ibuku, “ aku sudah tidak berminat
sekolah bu, lebih bagus cari duit, jika banyak duit mau apa saja pasti bisa”
jawabku waktu itu. Ibuku tidak bicara apa-apa lagi, beliau hanya membathin dan
segera meneruskan melipat pakaianku
& akupun segera bangkit untuk menemui Omku yang datang bertamu dirumah.
Musim panen raya kopi waktu itu sudah
mulai memasuki titik ending, kebunku yang hanya sekian meter luasnya lebih
duluan selesai dibanding tetangga-tetanggaku yang memiliki berhektar-hektar
tanah. Jadi, meskipun rata-rata kebun di kampungku ditanami secara tumpangsari
oleh petani, tetapi hasilnya tetap banyak karena luas lahan mampu menutupi
tanaman yang kerdil dan ogah memberi hasil.
Akhirnya musim panen kopi telah usai, rata-rata orang dikampungku kini sibuk menjemur kopi mereka masing-masing. Waktu itu aku lebih banyak nganggur dengan menghabiskan waktu dirumah saja, tak ada aktifitas yang berarti menurutku. Ibuku cukup terkenal dengan kue hasil olahannya, yah ! meskipun hanya terkenal sebagai penjual kue keliling tapi cukuplah untuk kami syukuri. Disamping itu, Ibuku mulai bingung memperhatikanku yang setiap hari hanya nganggur, karena yang dikhawatirkan Ibuku adalah jangan sampai aku ikut arus dengan kondisi lingkungan yang memang waktu itu cukup mengkhawatirkan bagi sebagian orang tua dan termasuk Ibuku adalah orang yang sangat takut jika aku tidak sekolah maka akupun akan sama dengan pemuda pada umumnya. Oleh sebab itu, Ibuku berfikir keras bagaimanapun caranya aku harus sekolah karena beliau kenal betul bagaimana jadinya nanti jika aku tak bersekolah. Ibuku pernah berkata “ Nak, !! kamu hanya akan lebih baik jika melanjutkan pendidikanmu dulu, untuk urusan cari duit nantilah setelah kamu tamat sekolah, lagipula Ibu masih bisa menghidupi kalian meskipun harus hidup bermiskin-miskin dan serba tak berkecukupan ”. Aku hanya menanggapi kata-kata Ibuku dengan senyum tak bermakna. ..Bersambung...(....)By: Hamsir Jaelani
0 comments:
Post a Comment
PARA GITTE SIPAKAINGA SIPASSIRIKI LINO AHERA'