Wednesday, April 18, 2012

PERJALANA MASA LALU UNTUK MENATAP LANGIT

0 comments

Pagi begitu cerah ketika aku terbangun dari tidurku, hari ini aku terlambat bangun tidur gara-gara semalam ikut nonton film horor di rumah tetangga atau tepatnya  dirumah Omku hingga dinihari. Jam 04.45 dinihari filmnya baru usai, akhirnya aku sholat subuh dulu lalu star untuk melanjutkan tidurku yang sempat tertunda tadi malam.
            Bangun terlalu pagi yang menurutku hampir kesiangan adalah salah satu kebiasaan kurang baik bagi pemuda sepertiku ( akh...boro-boro jadi pemuda, memasuki remaja awal maksudku ). Waktu itu masyarakat di kampungku sedang sibuk-sibuknya memetik atau memanen hasil bumi mereka masing-masing. Masyarakat di kampungku adalah mayoritas petani kopi tumpang sari, yah..aku sebut demikian, karena petani di kampungku nyaris menanam segala jenis tumbuhan penyandang dalam satu lahan, sehingga tanaman banyak yang kerdil atau malah ogah memberikan hasil. Sosialisasi pemerintah saat itu pun belum mampu menyentuh pelosok desaku dan kalaupun ada, masyarakat belum tentu tertarik untuk mengikuti kegiatan tersebut dan kalaupun ikut belum tentu menyerap sajian materi sosialisasi ilmu pertanian yang di sampaikan. Begitulah kira-kira pemahamanku tentang masyarakat di kampungku yang begitu awam dalam memahami ilmu pengetahuan.
            Hari itu, akupun telah genap berumur 17th versi Pak Hanafi, di tahun 2003-2004 waktu itu. Umurku memang memiliki dua versi, Ibuku mengatakan jika umurku saat itu 15 tahun terhitung sejak 1989-4-April, dan aku anggap itulah yang akurat. Tapi versi Pak Hanafi lain lagi, sejak aku mendaftarkan diri di sekolah dasar 59 Labbo ( SD 59 ), maka usaiku pun bertambah dua tahun lebih tua dari sebelumnya, alasannya cukup klasik, usaiku belum genap untuk bersekolah dan harus menunggu dua tahun lagi. Akhirnya karena aku tetap ngotot untuk bersekolah, maka Pak Hanafi yang waktu itu adalah kepala sekolah memberi solusi agar umurku di tambah dua tahun saja dari 04-April 1989 menjadi 05 Juni 1987, dan akupun berkata “Terserah bapak sajalah”. Pikiranku waktu aku itu adalah sekolah & sekolah meski umurku harus di tambah dua tahun lebih tua. Setelah urusan administrasi selesai semua resmilah aku menjadi siswa atau pelajar di SD 59 Labbo.
            Tak terasa waktu merambat demikian cepatnya, masa-masa SD telah lama aku tinggalkan dan tak banyak pula yang bisa aku ceritakan tentang masa-masa tersebut. Kini genap sudah tiga bulan aku tamat sekolah di Madrasah Tsanawiyah ( MTs. ) di Pattiro yang menurutku menyimpan kenangan yang begitu banyak, baik suka maupun duka.
            Setamat sekolah, setelah ujian akhir Sekolah dan ujian akhir Nasional usai, akupun langsung menuju Makassar bersama sepupuku dengan harapan mengais rejeki dengan menjadi buruh kasar di beberapa proyek bangunan milik orang-orang kulit kuning ( Baca; CHINA ), waktu itu. Ini  adalah kali kedua aku ke Makassar setelah dulu hanya dua minggu berada di Makassar, waktu itu aku masih duduk di kelas dua MTs, dan kali ini aku dua bulan lamanya setelah hampir satu minggu aku belum dapat pekerjaan. Akh.....sungguh kasihan aku waktu itu.
            Beberapa bulan kemudian, setelah kembali dari Makassar paradigmaku tentang hidup berubah drastis, selain tubuhku bertambah agak besar karena waktu di Makassar aku berlangganan dua penjual bakso. Sehingga hampir dua bulan penuh aku bisa makan bakso sampai tiga kali sehari semalam, sebuah kebiasaan yang sangat kontras dengan aku dua bulan yang lalu. Pandangan dan harapanku tentang hidup waktu itupun berubah sampai 80 derajat kebawah titik nadir akal sehat, aku anggap hidup hanya akan lebih bahagia, lebih dihargai, dihormati hanya jika kita punya banyak duit dan akupun bertekad dalam hati untuk mencari uang sebanyak-banyaknya tak peduli tanganku membesar dan melepuh asalkan aku dapat duit, pikirku dalam bathin.
            Setelah aku pikir matang-matang dengan pertimbangan akalku sendiri, akhirnya akupun berkesimpulan, aku tak mau melanjutkan pendidikanku lagi, aku pikir tamat MTs, sudah cukup untukku, lagipula aku sudah mulai tidak berminat dengan yang namanya belajar, sungguh !!! pikiran yang sangat konyol.
            Penerimaan siswa-siswi baru di Madrasah Aliyah Pattiro ( MA. ) sudah berlangsung dua bulan, acara ta’aruf dengan sesama siswa ( i ) mulai hangat dan akrab, baik antara senior maupun junior. Musdalifah, Usman dan beberapa sahabat-sahabatku di MTs dulu, mulai mempertanyakan keberadaanku, apakah aku masih lanjut sekolah atau tidak??. Sebuah pertanyaan yang tidak perlu aku jawab, karena teman-temanku sudah sangat hapal jawabannya, dengan hanya melihat kondisiku dan kondisi keluargaku yang termasuk jajaran kaum “Dhu’afa” kaum proletar ekonomi, miskin harta yang hanya bisa tetap bertahan hidup jika tetap menjadi buruh kasar di beberapa proyek yang membutuhkan tenaga. Tapi, kami sekeluarga meskipun bukanlah termasuk keluarga yang sok relijius, tetap mengedepankan ajaran agama bahwa biarlah tubuh tersiksa mencari rejeki asalkan rejeki tersebut halal dan baik, demikian kata-kata pak Ustas tempo hari saat berkhutbah jum’at.
            Selang waktu berjalan, pikiranku pun semakin menyusut dan berjalan lamban, keinginanku untuk tidak bersekolah sudah aku sampaikan kepada Ibuku dan Ibuku menanggapinya dingin dengan seulas senyum penuh tanda tanya atau mungkin juga kasihan melihat kondisiku, lalu beliau berkata “ terus kamu mau jadi apa?” tanya Ibuku, “ aku sudah tidak berminat sekolah bu, lebih bagus cari duit, jika banyak duit mau apa saja pasti bisa” jawabku waktu itu. Ibuku tidak bicara apa-apa lagi, beliau hanya membathin dan segera meneruskan melipat pakaianku  & akupun segera bangkit untuk menemui Omku yang datang bertamu dirumah.
            Musim panen raya kopi waktu itu sudah mulai memasuki titik ending, kebunku yang hanya sekian meter luasnya lebih duluan selesai dibanding tetangga-tetanggaku yang memiliki berhektar-hektar tanah. Jadi, meskipun rata-rata kebun di kampungku ditanami secara tumpangsari oleh petani, tetapi hasilnya tetap banyak karena luas lahan mampu menutupi tanaman yang kerdil dan ogah memberi hasil.
            Akhirnya musim panen kopi telah usai, rata-rata orang dikampungku kini sibuk menjemur kopi mereka masing-masing. Waktu itu aku lebih banyak nganggur dengan menghabiskan waktu dirumah saja, tak ada aktifitas yang berarti menurutku. Ibuku cukup terkenal dengan kue hasil olahannya, yah ! meskipun hanya terkenal sebagai penjual kue keliling tapi cukuplah untuk kami syukuri. Disamping itu, Ibuku mulai bingung memperhatikanku yang setiap hari hanya nganggur, karena yang dikhawatirkan Ibuku adalah jangan sampai aku ikut arus dengan kondisi lingkungan yang memang waktu itu cukup mengkhawatirkan bagi sebagian orang tua dan termasuk Ibuku adalah orang yang sangat takut jika aku tidak sekolah maka akupun akan sama dengan pemuda pada umumnya. Oleh sebab itu, Ibuku berfikir keras bagaimanapun caranya aku harus sekolah karena beliau kenal betul bagaimana jadinya nanti jika aku tak bersekolah. Ibuku pernah berkata “ Nak, !! kamu hanya akan lebih baik jika melanjutkan pendidikanmu dulu, untuk urusan cari duit nantilah setelah kamu tamat sekolah, lagipula Ibu masih bisa menghidupi kalian meskipun harus hidup bermiskin-miskin dan serba tak berkecukupan ”. Aku hanya menanggapi kata-kata Ibuku dengan senyum tak bermakna. ..Bersambung...(....)


By: Hamsir Jaelani

0 comments:

Post a Comment

PARA GITTE SIPAKAINGA SIPASSIRIKI LINO AHERA'