Permulaan tahun 2013
ini dibuka dengan banyak kegemparan. Tak hanya tentang Istana Negara yang
terendam banjir, tetapi juga tentang negeri ini yang makin terendam oleh
korupsi.
Akhir Januari lalu,
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq ditetapkan sebagai
tersangka. PKS pun merasa seperti dihantam palu godam oleh penguasa.
Lalu, awal Maret ini,
beredar kabar bahwa Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sudah
ditetapkan sebagai tersangka. Namun, KPK segera membantah kabar itu.
Berbagai kejadian di
atas terbilang mengejutkan. Maklum, jarang-jarang KPK menembak “pejabat
tinggi”. Apalagi, jika yang bersangkutan masih berada di lingkaran kekuasaan.
Banyak yang mengapresiasi prestasi KPK itu.
Namun, di sisi lain,
tertangkapnya Presiden PKS itu benar-benar membuat kepercayaan rakyat atas
politik jatuh ke titik nadir. Maklum, selama ini PKS dianggap partai bersih,
agamais, terorganisir, dan berdisiplin. Tetapi, pada akhirnya, tercebur juga ke
dalam lumpur korupsi. PKS pun terancam remuk!
Mayoritas klas
menengah, yang cukup terdidik dan melek informasi, sampai pada kesimpulan
akhir: Tidak ada satupun partai di parlemen yang bebas korupsi. Dan, kesimpulan
itu semakin menebalkan iman mereka untuk apatis terhadap politik.
Dalam tiga pemilu
terakhir, tingkat partisipasi rakyat kian menurun: 1999 (92 persen), 2004 (84
persen) dan 2009 (71 persen). Sementara survei Centre for strategic and
International Studies (CSIS) menyimpulkan, hampir 48 persen rakyat tak lagi
mempercayai parpol. Lalu, survei LSI mempertegas lagi bahwa 80 persen
masyarakat lebih mendukung calon independen.
Ada bahayanya ketika
sinar politik terus meredup. Politiklah arena bagi berbagai sektor sosial
memperjuangkan kepentingannya. Ketidak-hadiran mereka dalam arena bernama
politik itu berarti mengorbankan kepentingannya sendiri.
Apatisme politik
jelas berdampak buruk. Pertama, rakyat kehilangan kesempatan untuk memasukkan
kepentingannya dalam agenda atau proyek politik negara. Kedua, kekuatan
status-quo bisa terus melembagakan kekuasannya tanpa gangguan.
Selain itu, rezim
neoliberal punya kepentingan besar untuk terus meniupkan angin kebencian
terhadap partai politik. Parpol adalah alat politik paling efektif untuk untuk
mengartikulasikan berbagai proposal individu maupun sektor ke dalam sebuah
proposal politik bersama.
Pertama, dengan
kampanye anti-parpol yang begitu gencar, rezim neoliberal berusaha
mengembalikan aspirasi politik massa menjadi aspirasi politik pribadi
masing-masing individu.
Anggaplah aspirasi
individu itu menyerupai air mendidih. Kalau air mendidih itu ditutup, maka
uapnya bisa menciptakan tekanan. Sebaliknya, kalau dibiarkan terbuka, maka uap
yang dihasilkannya bubar tanpa tekanan.
Karena itu, bagi
saya, kampanye mendiskreditkan parpol itu bagian dari strategi politik rezim
neoliberal untuk mencegah keresahan dan aspirasi massa dalam sebuah proyek
politik bersama.
Kedua, kampanye anti
partai politik ini, seperti kampanye penolakan Menteri dari latar-belakang
parpol, merupakan upaya rezim neoliberal menguatkan peran kaum profesional atau
teknokrat dalam berbagai proses perumusan dan pengambilan kebijakan.
Pada kenyataannya,
sebagian besar mereka yang disebut kaum profesional-teknokrat ini adalah
prajurit-prajurit setia pembela kepentingan pasar dan bisnis besar. Mereka
berusaha mengisolasi perumusan kebijakan dari persoalan politik. Alhasil,
rasionalisasi pengambilan kebijakan politik mengacu pada pertimbangan ekonomis,
yakni soal untung/laba dan rugi, bukan pada pertimbangan kemaslahatan rakyat
banyak.
Ketiga, proyek
anti-politik ini berusaha menggiring kita pada apa yang disebut demokrasi
terbatas, yakni demokrasi yang minim konsensus dan partisipasi rakyat.
Kenyataan ini terlihat jelas pada contoh: pemenang Pilpres atau Pilkada bisa
saja perolehan suaranya lebih kecil dari jumlah golput, tetapi ia tetap saja
dianggap sah. Di sini, mandat politik ditentukan dari siapa pemenang kontes,
bukan pada siapa yang meraih dukungan mayoritas.
Lantas, apa langkah
paling bijaksana untuk menyikapi kegagalan partai politik saat ini?
Pertama, yang harus
kita serang tanpa ampun adalah sikap dan langkah politik yang salah dari parpol
bersangkutan. Tetapi eksistensi parpol sebagai organisasi politik tetap
dibutuhkan dalam kerangka mewadahi perjuangan politik dari berbagai sektor
sosial di dalam masyarakat.
Kedua, rakyat
membutuhkan sebuah partai politik dengan pendekatan politik yang baru: tidak
korup, transparan, demokratis, militan, berdisiplin, dan teguh membela rakyat.
Partai politik
semacam itu memang belum ada di parlemen, tapi embrionya ada di
esktra-parlemen. Mereka tidak perlu tergesa-gesa untuk berkiprah di parlemen.
Tetapi yang diperlukan adalah membangun basis massa luas melalui perjuangan
bersama massa rakyat dan memimpin oposisi luas di luar parlemen.