Pelaksanaan
redenominasi Rupiah sudah semakin dekat.
Meski belum ada dasar hukumnya, BI sudah mensosialisasikan rancangan Rupiah
baru. BI, sebagai entitas di luar
Pemerintahan RI, memang memiliki kebebasan penuh mengambil keputusan kebijakan
moneter, yang tidak dapat dihalangi oleh pemerintah dan DPR. Para pejabat BI sedang meyakinkan masyarakat bahwa redenominasi
berbeda dengan sanering. Bahwa penghilangan tiga angka 0 pada Rupiah tidak
mengubah nilai tukarnya.
Benarkah
klaim BI tersebut?
Redenominasi adalah teknik baru para bankir dalam
merekalibrasi mata uang. Langkah ini
dilakukan karena dua alasan (1) inflasi atau (2) devaluasi. Atau, kalau bukan karena keduanya, karena alasan geopolitik
tertentu. Ini terjadi, misalnya, ketika berbagai bankir di Eropa bersepakat
untuk memiliki mata uang regional Euro, yang mengharuskan tiap negara Uni
Eropa merekalibrasi mata uang nasional
masing-masing.
Bila redenominasi itu
dilakukan karena inflasi, maka ada dua variasi, yaitu hiperinflasi atau inflasi sangat tinggi dalam tempo singkat,
atau inflasi kronis, yaitu inflasi yang terus-menerus terjadi dalam waktu
panjang.
Secara teknis
redenominasi mata uang nasional adalah rekalibrasi mata uang suatu negara dengan cara mengganti currency unit mata uang lama (yang berlaku) dengan
mata uang yang baru, yang dipakai sebagai 1 unit mata uang. Bedanya
dengan devaluasi adalah pada yang terakhir ini unit rekalibrasinya adalah mata
uang asing, umumnya dolar AS. Kalau
inflasinya sangat besar, maka rasioanya juga akan besar, bisa kelipatan 10,
100, 1000, atau lebih besar lagi. Dalam hal ini, proses itu lalu
disederhanakan, dan disebut sebagai “penghilangan angka nol”. Dalam hal Euro
rekalibrasi dilakukan atas berbagai mata uang nasional terhadap satu mata uang
tunggal baru, yaitu Euro.
Nasib
Rupiah
Sepanjang
umurnya yang 68 tahunan Rupiah sudah mengalami berkali-kali
rekalibrasi. Yang dicatat dalam buku sejarah di sekolah adalah saat rezim Orde
Lama pada 31 Desember 1965, memangkas
nilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Istilah yang
populer untuk peristiwa ini adalah sanering. Penyebabnya adalah hiperinflasi.
Sesudah Orde Lama jatuh, selama kurun pemerintah Orde Baru, Rupiah juga mengalami
berkali-kali rekalibrasi, dengan istilah berbeda, yakni devaluasi. Dalam
beberapa tahun awal keberadaan Republik Indonesia Rupiah juga sudah mengalami
beberapa kali rekalibrasi.
Begitu Indonesia diakui kemerdekaannya, 1949, Rupiah
dipatok sebesar 3.8 per dolar AS. Sesudah melorot sampai Rp 11.4 per dolar pada 1952 (saat ORI diganti
menjadi Uang Bank Indonesia), dan terus melorot sampai Rp 45, melesat menjadi
Rp 0,25 pada 1965, berkat sanering Soekarno. Selama Orde baru, atas desakan IMF
dan Bank Dunia
Rupiah didevaluasi
pada Maret 1983, sebesar 55%, dari Rp
415 per dolar AS menjadi lebih dari Rp
600 per dolar AS. Rupiah, kembali atas tekanan IMF dan Bank Dunia, didevaluasi
lagi pada September 1986, sebesar 45%,
menjadi sekitar Rp 900 per dolar AS.
Dari waktu ke waktu
nilai tukar Rupiah terus mengalami depresiasi sampai mencapai angka sekitar Rp
2.200 per dolar AS sebelum
’Krismon’ 1997. Nilai Rupiah kemudian ’terjun bebas’ pertengahan 1997, dan sejak itu terus terombang-ambing – lagi-lagi atas kemauan IMF
dan Bank Dunia - dalam sistem kurs mengambang (floating rate), dengan titik
terendah yang pernah dicapai sebesar Rp 16.000 per dolar AS, di awal 1998, dan saat ini fluktuatif di
sekitar Rp 9.500-Rp 10.000 per dolar AS.
Jadi, munculnya gagasan untuk rekalibrasi Rupiah kali ini,
dengan cara redenominasi melalui penghilangan tiga angka nol-nya, yakni mata
uang Rp 1.000 menjadi Rp 1, penyebabnya tiada lain adalah inflasi kronis.
Secara substansial,
tentu saja, tidak ada bedanya antara redenominasi dan devaluasi. Keduanya hanya bermakna bahwa mata uang
Rupiah kita semakin kehilangan daya belinya. Kongkritnya masyarakat Indonesia semakin hari semakin miskin. Dalam dua tahun
terakhir saja, sejak isu redenominasi dilontarkan 2010 lalu, dibandingkan saat
ini (2013), kalau diukur dengan nilai
telor ayam saja, Rupiah telah kehilangan lebih dari 25% daya belinya. Dua tahun
lalu Rp 100.000 mendapatkan 7 kg telor
ayam, hari ini cuma 5 kg. Tidak ada
bedanya apakah Rupiah itu diberi lima angka 0 (Rp 100.000) ataukah digunduli
hanya dengan dua angka 0 (Rp 100 hasil redenominasi). Daya belinya sudah
tergerus 25% dalam dua tahun.
Penghilangan angka
nol itu sejatinya dilakukan karena dua alasan. Pertama, alasan teknis,
kerepotan dalam berbagai aspek
pengelolaan mata uang dengan
angka nominal besar. Kedua, alasan psikologis atau tepatnya psikis,
karena pada titik tertentu masyarakat
tidak akan bisa manerima harga dengan
nominal yang sangat besar. Tetapi, tujuan mendasarnya, adalah menutupi kegagalan mata uang kertas untuk
mempertahankan daya belinya. Redenominasi hanya menyembunyikan penyakit
sejatinya, yaitu depresiasi.
Penyakit inflasi
(akut atau kronis) atau tepatnya penurunan
daya beli mata uang kertas (depresiasi) bukan cuma diderita oleh Rupiah. Semua
mata uang kertas mengalaminya. Dolar AS
telah kehilangan daya belinya lebih dari 95% dalam kurun 40 tahun. Euro,
hasil rekalibrasi geopolitis, yang konon merupakan mata uang terkuat saat ini,
dalam sepuluh tahun terakhir, kehilangan
sekitar 70% daya belinya. Rupiah?
Lebih dari 99,9% daya belinya telah lenyap dalam 65 tahun ini. Maka, fungsi rekalibrasi sebenarnya
hanyalah untuk menutupi cacat bawaan uang kertas ini. Hingga publik tidak merasakan bahwa dalam
kurun 68 tahun Indonesia merdeka, kita telah
dipermiskin sebanyak 275 ribu
kali!
Rekalibrasi mata uang
kertas adalah senjata utama para bankir untuk mengelabui masyarakat atas
kenyataan ini. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir ini saja belasan mata uang
berbagai negara direkalibrasi: Turki, Siprus, Slovakia, Romania, Ghana,
Azerbeijan, Slovenia, Turkmenistan, Mozambique, Venezuela, dll. Yang paling
spektakuler, tentu saja, adalah dolar Zimbabwe, yang dalam kurun lima tahun
terakhir mengalami tiga kali (2006, 2008, dan 2009) redenominasi, dengan menghapus total 25 angka nol pada unit mata
uangnya! Toh gagal juga, yang berakhir dengan tidak dimilikinya mata uang
nasional Zimbabwe, dan kini menerima dolar AS sebagai mata uang mereka!
Seharusnya BI, dan
juga pemeerintah, tidak melakukan redenominasi, tapi mencegah inflasi.
Redenominasi justru hanya mengelabui masyarakat dan menyembunyikan inflasi ini.
Salah satu caranya
adalah masyarakat diberi pilihan atas
alat tukar yang tidak bisa disanering, didevaluasi atau diredenominasi,
artinya tidak dapat dimanipulasi oleh siapa pun, bukan cuma oleh bank sentral
atau IMF, yakni alat tukar yang memiliki nilai intrinsik. Pilihan terbaik untuk
itu adalah dinar emas atau dirham perak, yang kini mulai beredar luas di
berbagai negara, termasuk Indonesia.
Pada Januari 2013 dinar emas dan dirham perak,
termasuk yang beredar di Indonesia telah
mulai berlaku sebagai alat tukar internasional, dengan kurs tunggal.
Mata uang tunggal Islam ini berada di bawah regulasi World Islamic Mint.
Setidaknya saat ini ada lima seri Dirham dan Dinar, yaitu Pemerintah Kelantan,
Kesultanan Sulu, Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan Ternate, dan Amirat
Indonesia.
Sumber
: Fesbuker Indonesia & arsip-artikel-online.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment
PARA GITTE SIPAKAINGA SIPASSIRIKI LINO AHERA'