Monday, February 4, 2013

Redenominasi, Mencermati Sebuah Akal - Akalan

0 comments


Pelaksanaan redenominasi  Rupiah sudah semakin dekat. Meski belum ada dasar hukumnya, BI sudah mensosialisasikan rancangan Rupiah baru.   BI, sebagai entitas di luar Pemerintahan RI, memang memiliki kebebasan penuh mengambil keputusan kebijakan moneter, yang tidak dapat dihalangi oleh pemerintah dan DPR.  Para pejabat BI sedang  meyakinkan masyarakat bahwa redenominasi berbeda dengan sanering. Bahwa penghilangan tiga angka 0 pada Rupiah tidak mengubah nilai tukarnya.

Benarkah klaim BI tersebut?

Redenominasi  adalah teknik baru para bankir dalam merekalibrasi mata uang. Langkah ini  dilakukan karena dua alasan (1) inflasi atau (2) devaluasi.  Atau, kalau bukan  karena keduanya, karena alasan geopolitik tertentu. Ini terjadi, misalnya, ketika berbagai bankir di Eropa bersepakat untuk memiliki mata uang regional Euro, yang mengharuskan tiap negara Uni Eropa  merekalibrasi mata uang nasional masing-masing.  


Bila redenominasi itu dilakukan  karena inflasi, maka  ada dua variasi, yaitu hiperinflasi atau  inflasi sangat tinggi dalam tempo singkat, atau inflasi kronis, yaitu inflasi yang terus-menerus terjadi dalam waktu panjang.
Secara teknis redenominasi mata uang nasional adalah rekalibrasi  mata uang suatu negara  dengan cara mengganti currency unit  mata uang lama (yang berlaku)  dengan  mata uang yang baru, yang dipakai sebagai 1 unit mata uang. Bedanya dengan devaluasi adalah pada yang terakhir ini unit rekalibrasinya adalah mata uang asing, umumnya dolar AS.  Kalau inflasinya sangat besar, maka rasioanya juga akan besar, bisa kelipatan 10, 100, 1000, atau lebih besar lagi. Dalam hal ini, proses itu lalu disederhanakan, dan disebut sebagai “penghilangan angka nol”. Dalam hal Euro rekalibrasi dilakukan atas berbagai mata uang nasional terhadap satu mata uang tunggal baru, yaitu Euro.

Nasib Rupiah

Sepanjang umurnya  yang 68  tahunan Rupiah sudah mengalami berkali-kali rekalibrasi. Yang dicatat dalam buku sejarah di sekolah adalah saat rezim Orde Lama  pada 31 Desember 1965, memangkas nilai Rp 1000 menjadi Rp 1.  Istilah yang populer untuk peristiwa ini adalah sanering. Penyebabnya adalah hiperinflasi. Sesudah Orde Lama jatuh, selama kurun pemerintah Orde Baru, Rupiah juga mengalami berkali-kali rekalibrasi, dengan istilah berbeda, yakni devaluasi. Dalam beberapa tahun awal keberadaan Republik Indonesia Rupiah juga sudah mengalami beberapa kali rekalibrasi.

Begitu  Indonesia diakui kemerdekaannya, 1949, Rupiah dipatok sebesar 3.8 per dolar AS. Sesudah melorot sampai Rp  11.4 per dolar pada 1952 (saat ORI diganti menjadi Uang Bank Indonesia), dan terus melorot sampai Rp 45, melesat menjadi Rp 0,25 pada 1965, berkat sanering Soekarno. Selama Orde baru, atas desakan IMF dan Bank Dunia 
Rupiah didevaluasi pada  Maret 1983, sebesar 55%, dari Rp 415 per dolar  AS menjadi lebih dari Rp 600 per dolar AS. Rupiah, kembali atas tekanan IMF dan Bank Dunia, didevaluasi lagi  pada September 1986, sebesar 45%, menjadi sekitar Rp 900 per dolar AS. 

Dari waktu ke waktu nilai tukar Rupiah terus mengalami depresiasi sampai mencapai angka sekitar Rp 2.200 per dolar AS  sebelum ’Krismon’  1997. Nilai Rupiah kemudian  ’terjun bebas’ pertengahan 1997,  dan sejak itu terus  terombang-ambing – lagi-lagi atas kemauan IMF dan Bank Dunia - dalam sistem kurs mengambang (floating rate), dengan titik terendah yang pernah dicapai sebesar Rp 16.000 per dolar AS,  di awal 1998, dan saat ini fluktuatif di sekitar Rp 9.500-Rp 10.000 per dolar AS.

Jadi, munculnya  gagasan untuk rekalibrasi Rupiah kali ini, dengan cara redenominasi melalui penghilangan tiga angka nol-nya, yakni mata uang  Rp 1.000 menjadi Rp 1,  penyebabnya tiada lain adalah inflasi kronis.



Secara substansial, tentu saja, tidak ada bedanya antara redenominasi dan devaluasi.  Keduanya hanya bermakna bahwa mata uang Rupiah kita semakin kehilangan daya belinya. Kongkritnya  masyarakat Indonesia  semakin hari semakin miskin. Dalam dua tahun terakhir saja, sejak isu redenominasi dilontarkan 2010 lalu, dibandingkan saat ini (2013),  kalau diukur dengan nilai telor ayam saja, Rupiah telah kehilangan lebih dari 25% daya belinya. Dua tahun lalu Rp 100.000 mendapatkan 7  kg telor ayam, hari ini cuma 5 kg.  Tidak ada bedanya apakah Rupiah itu diberi lima angka 0 (Rp 100.000) ataukah digunduli hanya dengan dua angka 0 (Rp 100 hasil redenominasi). Daya belinya sudah tergerus 25% dalam dua tahun.

Penghilangan angka nol itu sejatinya dilakukan karena dua alasan. Pertama, alasan teknis, kerepotan dalam berbagai aspek  pengelolaan mata uang dengan  angka nominal besar. Kedua, alasan psikologis atau tepatnya psikis, karena pada titik  tertentu masyarakat tidak akan bisa manerima harga dengan  nominal yang sangat besar. Tetapi, tujuan mendasarnya, adalah  menutupi kegagalan mata uang kertas untuk mempertahankan daya belinya. Redenominasi hanya menyembunyikan penyakit sejatinya, yaitu depresiasi.

Penyakit inflasi (akut atau kronis)  atau tepatnya penurunan daya beli mata uang kertas (depresiasi) bukan cuma diderita oleh Rupiah. Semua mata uang kertas mengalaminya. Dolar AS  telah kehilangan daya belinya lebih dari 95% dalam kurun 40 tahun. Euro, hasil rekalibrasi geopolitis, yang konon merupakan mata uang terkuat saat ini, dalam sepuluh tahun terakhir,  kehilangan sekitar 70%  daya belinya.  Rupiah?  Lebih dari 99,9% daya belinya telah lenyap  dalam 65 tahun  ini. Maka, fungsi rekalibrasi sebenarnya hanyalah untuk menutupi cacat bawaan uang kertas ini.  Hingga publik tidak merasakan bahwa dalam kurun 68 tahun Indonesia merdeka, kita telah  dipermiskin sebanyak  275 ribu kali!

Rekalibrasi mata uang kertas adalah senjata utama para bankir untuk mengelabui masyarakat atas kenyataan ini. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir ini saja belasan mata uang berbagai negara direkalibrasi: Turki, Siprus, Slovakia, Romania, Ghana, Azerbeijan, Slovenia, Turkmenistan, Mozambique, Venezuela, dll. Yang paling spektakuler, tentu saja, adalah dolar Zimbabwe, yang dalam kurun lima tahun terakhir mengalami tiga kali (2006, 2008, dan 2009)  redenominasi, dengan  menghapus total 25 angka nol pada unit mata uangnya! Toh gagal juga, yang berakhir dengan tidak dimilikinya mata uang nasional Zimbabwe, dan kini menerima dolar AS sebagai mata uang mereka!

Seharusnya BI, dan juga pemeerintah, tidak melakukan redenominasi, tapi mencegah inflasi. Redenominasi justru hanya mengelabui masyarakat dan menyembunyikan inflasi ini.

Salah satu caranya adalah masyarakat diberi pilihan atas  alat tukar yang tidak bisa disanering, didevaluasi atau diredenominasi, artinya tidak dapat dimanipulasi oleh siapa pun, bukan cuma oleh bank sentral atau IMF, yakni alat tukar yang memiliki nilai intrinsik. Pilihan terbaik untuk itu adalah dinar emas atau dirham perak, yang kini mulai beredar luas di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Pada  Januari 2013 dinar emas dan dirham perak, termasuk yang beredar di Indonesia telah  mulai berlaku sebagai alat tukar internasional, dengan kurs tunggal. Mata uang tunggal Islam ini berada di bawah regulasi World Islamic Mint. Setidaknya saat ini ada lima seri Dirham dan Dinar, yaitu Pemerintah Kelantan, Kesultanan Sulu, Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan Ternate, dan Amirat Indonesia.

Sumber : Fesbuker Indonesia & arsip-artikel-online.blogspot.com

0 comments:

Post a Comment

PARA GITTE SIPAKAINGA SIPASSIRIKI LINO AHERA'