Fhia Esyahda |
Hujan
turun begitu lebatnya hingga menghambat perjalanan Sofi yang saat itu pulang
dari tempat kursusnya, dia pun memutuskan untuk berteduh di depan sebuah kios
lelaki Tionghoa.
“Koh, aku numpang
berteduh sebentar ya?”
“Iya, silahkan saja.”
Sambil menyeka rembesan air hujan yang
mengguyurnya dia menoleh kekiri dan kekanan lalu menatap lurus ke depan jalanan
raya yang kuyup karena derasnya hujan, begitu sepi hanya beberapa orang saja
yang terlihat lewat sambil berlari kecil mencari tempat berteduh. Di tengah
asyiknya menikmati kesyahduan suara hujan tiba-tiba datang seorang lelaki.
“Numpang berteduh
Koh.”
Lelaki Tionghoa
itu hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Tanpa menyadari bahwa ada seorang
gadis yang sedang bersamanya berteduh di tempat yang sama, pemuda itu
mengepak-ngepakkan rambutnya yang basah kuyup diguyur hujan hingga menciprat
wajah sang gadis sampai bersin. “Acchiinn, duh”. Pemuda itu kemudian menoleh
dengan raut wajah kaget dan berkata “Eh ada orang ternyata disini, maaf.”
Dengan senyum kecutnya. Sofi langsung terpana memandang wajah si pemuda,
“Sungguh indah memahat wajahmu duhai sang…………” kicaunya dalam hati namun
buru-buru memotong ucapannya dan tertunduk menatap lantai kios.
Setelah beberapa
lama hujan semakin deras disertai petir yang menggelegar, dengan perasaan yang
sungkan lelaki itu kemudian melangkah kesamping menghampiri gadis tersebut dan
memberanikan diri untuk berkenalan.
“Maaf, tentang
kejadian tadi. Aku benar-benar tidak tahu kalau ternyata mbak ada di dekatku.”
Berusaha memekarkan senyumnya.
“Oh iya nggak
apa-apa kok.” Menjawab seadanya. Namun dadanya bergetar hebat
“Hmm,,, kalau boleh
tahu nama mbak siapa?” memberanikan diri berkenalan.
Gadis itu tak
menjawab, hanya menoleh sebentar kemudian menatap lagi ke jalan raya.
“Oh, maaf kalau aku
salah ngomong.” Kata si pemuda
“Namaku Sofi, Aina
Sofia.” Sambil mengulurkan tangannya berniat menjabat.
Dengan senyum
pemuda itu menjawab “Aku Yudi, Yudistira Pratama.” Menjabat tangan sang gadis.
Mereka pun
berkenalan dan ngobrol layaknya orang yang baru bertemu. Akhirnya hujan reda
juga setelah kurang lebih hampir 2 jam mengguyur semesta. Obrolan mereka pun
berakhir.
“Mas Yudi, aku
duluan yah” kata Sofi
“Iya, iya,
hati-hati dijalan mbak Sofi”
Sofi pun pergi
meninggalakn kios itu dengan sedikit berlari kecil, karena waktu itu Sofi tak
memakai kendaraannya sebab jarak antara tempat kursus dan rumahnya tidak begitu
jauh. “Ayu sekali paras gadis itu,
senyum yang tersungging di bibirnya begitu indah, sederhana namun bersahaja. Aina
Sofia nama yang indah” ujarnya dalam hati. Ternyata Yudi melupakan sesuatu,
“Ah, kenapa aku lupa menanyakan alamatnya.” Sambil menyentakkan kaki di lantai.
Buru-buru dia mengendarai motornya dan mengejar Sofi yang belum terlalu jauh.
“Piiip piiippp”
Yudi membunyikan klakson motornya.
“Eh Mas Yudi, ada
apa lagi mas? Ada yang ketinggalan tadi?” Sofi menoleh, bertanya keheranan
“Iya mbak Sofi, aku
lupa nanyain alamat mbak dimana?he…. he…”
Dengan senyum
khasnya Sofi menunjuk ujung jalan “Itu di depan sana mas, sebelum belokan itu
rumah aku.” Kemudian menawarkan “Kalau mas Yudi mau mampir silahkan saja, nggak
apa-apa. Karena hujan juga belum reda banget, kan?”
Yudi tersenyum
sumringah “Kalau mampir sekarang boleh nggak mbak? Ya nggak ada maksud lain
sih, cuma pengen liat rumah mbak aja.” Sofi mengangguk tanda mengiyakan.
“Naik aja ke
motorku mbak, biar ku bonceng sampai depan rumah.” Usul Yudi.
“Makasih mas tapi
udah dekat kok, biar aku jalan kaki saja.”
Setelah sampai di
depan pagar rumah Sofi, Yudi pun memarkir motornya, di garasi terlihat sebuah
motor keluaran terbaru yang memang hanya cocok untuk seorang wanita. Lalu di
ajak oleh Sofi untuk masuk. “Mari silahkan masuk Mas Yudi, maaf rumah Sofi
berantakan.” Sela Sofi. “Oh tidak, tidak. Rumah serapi ini masih mbak Sofi bilang
berantakan? Wah,sampai segitunya dengan kerapihan.” Mereka tertawa berbarengan.
Sembari
melihat-lihat isi rumah Sofi yang terbilang sederhana namun desain interiornya
sangat indah dan eksotik,coretan warna disetiap dinding terlihat sangat menyatu
dengan pernak pernik yang ada di dalam rumah itu, menandakan si penghuni rumah
sangat menyukai seni. Yudi tersenyum takjub. Memang kedua orang tua Sofi adalah
seorang seniman, dua-duanya pelukis. Kemudian Sofi datang dengan membawa
secangkir teh hijau hangat asli dari Jepang di iringi dengan seorang wanita
paru baya.
“Kenapa mas Yudi?” suara Sofi mengagetkan Yudi
yang sedang asyik menikmati seluruh keindahan rumah itu, lalu menoleh.
“Eh mbak Sofi, aku
benar-benar terpesona dengan keindahan lukisan disana” sambil menunjuk sebuah
lukisan seorang gadis berparas ayu.
“Oh itu hadiah ulang tahunku mas, dari
almarhum Papah” kemudian menyuguhkan secangkir teh hangat dari Jepang itu.
“Oh ya mas, kenalin
ini Mamah”, “Mah, ini mas Yudi. Pemuda yang aku ceritakan tadi.”
Wanita paru baya
itu tersenyum lalu menyalami Yudi, Yudi pun membalas “Yudi. Yudistira Pratama,
tante.”
Mereka pun ngobrol,
dan keakraban mulai tercipta di antara mereka. Tanpa sungkan Yudi lalu
menunjukkan kepiawaiannya memainkan piano di depan Sofi dan Mamahnya.
1 comments:
mantap nanti aku juga mau menulis drama romantis heheheh
Post a Comment
PARA GITTE SIPAKAINGA SIPASSIRIKI LINO AHERA'