Penyesuaikan Kontrak Karya perusahaan
tambang Weda Bay Nickel langgar Undang-undang Pertambangan Mineral dan Batubara
tentang ketentuan luas. Pemerintahan SBY melalui Kementerian ESDM bersama Weda
Bay Nickel dilaporkan menyetujui luas wilayah pertambangan bisa melebihi 25.000
hektare.
UU no 4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) menyatakan, lewat Pasal 53,
bahwa Wilayah Usaha Produksi mineral logam paling luas adalah sebanyak 25.000
(dua puluh lima ribu) hektare. Amanat UU Minerba bahwa luas wilayah
pertambangan yang telah diberikan kepada pemegang kontrak karya harus
disesuaikan dengan undang-undang tersebut (Pasal 171 ayat 2).
Kontrak Karya perusahaan tambang Weda
Bay Nickel (sebagian besar sahammnya dimiliki perusahaan Eramet- Perancis)
memiliki luas 54.874 hektar. Sebelumnya bahkan 120.500 hektar. Sebagian besar
wilayah pertambangan Weda Bay Nickel adalah kawasan hutan, terdiri 24.920 hutan
lindung ( 46.8%).
Di dalam kontrak karya Weda Bay Nickel
juga terdapat kampung-kampung penduduk diantaranya, yaksi Lelief Sawai, Lelilef
Weibulan, Gemaf. Sebagian penduduk desa ini sedang memperjuangkan hak-hak
mereka atas tanah dan lingkungan hidup, yang terganggu akibat kegiatan
penambangan nikel skala luas ini.
Pertambangan adakah sektor kegiatan
ekonomi yang paling memiliki dampak negatif terhadap lingkungan. Lokasi yang
umumnya di kawasan hutan, menimbulkan pembatan hutan skala luas (ratusan hektar
untuk sebuah perusahaan). Penambangan menghasilkan banyak limbah material .
Jika biasa mengendari sepeda motor di jalan perkotaan, alangkah tidak nyamannya
melewati jalan yang dilalui truk membawa tanah. Jalan berdebu ketika musim
kemarau, dan licin ketika musim hujan. Begitulah masyarakat sekitar tambang dan
jalan pertambangan, debu hingga menutupi atap-atap rumah dan pepohonan ketika
musim kemarau, dan sungai serta laut menjadi keruh kala musim hujan.
Salah satu cara mengurangi dampak
lingkungan ini agar sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
memperkecil luas pertambangan. Ketentuan 25.000 hektare di dalam UU Minerba pun
sebenarnya masih sangat luas. Disamping persoalan pengrusakan lingkungan yang
luas, tentunya adalah soal keadilan. Bandingkan, sebaga warga negara, Petani
Jambi, yang beberapa lalu berkemah di Depan Kementerian Keuangan, masing-masing
mereka diperbolehkan melakukan pengolahan hutan seluas 2 hektar.
WALHI menyayangkan pemerintah
mengabaiakan ketentuan UU Minerba yang mengatur batasan luas tambang.
Penyesuaian kontrak karya yang melanggar ketentuan hukum menunjukkan pemerintah
lebih menjamin kepastian usaha bagi investor, ketimbang kepastian perkembangan
berkelanjutan sesuai dengan daya dukung alam bagi masyarakat sekitar Weda. Akan
lebih baik bisa pemerintah mendorong agar desa-desa di wilayah Kontrak karya
Weda Bay Nickel dikeluarkan dari wilayah pertambangan, dan sesuai dengan UU No
41 tahun 1999, WBN seharusnya tidak diperbolehkan menambang secara terbuka karena
akan merusak wilayah hutan lindung yang masih lestari tersebut.
Pemerintah seharusnya menjalankan
keputusan Mahkamah Konsitusi Nomor 32/PUU-VIII/2010 yang menyatakan dalam
penetapan wilayah pertambangan pemerintah ““wajib melindungi, menghormati, dan
memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan
dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena
dampak.”
MK juga menyatakan bahwa dalam
penetapan wilayah pertambangan masyarakat harus diikutsertaan secara aktif,
berupa keterlibatan langsung dalam pemberian pendapat dalam proses penetapan
Wilayah Pertambangan yang difasilitasi oleh negara/ Pemerintah. Hal ini
merupakan bentuk konkret pelaksanaan Pasal 28H ayat (1) dan ayat (4) UUD 1945.
Keputusan MK juga menyatakan hak masyarakat untuk mengeluarkan pikiran dan
pendapat harus dilindungi sehingga masyarakat wajib disertakan dalam proses
penetapan Wilayah Pertambangan, karena merekalah yang secara langsung akan
terkena dampak dalam proses penambangan mineral dan batubara. Adapun wujud dari
pelaksanaan kewajiban menyertakan pendapat masyarakat harus dibuktikan secara
konkret yang difasilitasi oleh Pemerintah. Bukti konkret tersebut dapat
mencegah terjadinya konflik antarpelaku usaha pertambangan dengan masyarakat
dan negara/Pemerintah, yang ada dalam Wilayah Pertambangan tersebut.”
Namun pemerintah mengabaikan sama
sekali keiikutsertaan masyarakat yang berpotensi terdampak negatif oleh
kegiatan penambangan ini, dengan melakukan renegoisiasi kontrak karya yang langgar
ketentuan perundang-undangan.
Informasi
lanjut:
Abetnego Tarigan (Direktur Eksekutif Nasional WALHI),
08159416297
0 comments:
Post a Comment
PARA GITTE SIPAKAINGA SIPASSIRIKI LINO AHERA'